HITUNGAN
waktu saat itu menunjukkan bulan Jumadil ‘Ula, tahun ke-8 Hijriyah. Penguasa
imperium Romawi, Heraklius, sudah tak tahan lagi dengan meluasnya pengaruh
Islam yang disebarkan oleh Rasulullah SAW beserta para shahabat yang tanpa
kenal lelah dan putus asa itu.
Cemas
dan takut memang telah menghantui sang Kaisar. Ia benar-benar melihat adanya
bahaya yang amat-sangat yang mengancam eksistensi dan digdaya kerajaan tua itu.
Alarm bahaya tersebut tampak terang begitu kekuatan Islam mulai merambah ke
wilayah Syam (Syiria)—daerah pendudukan Romawi yang berbatasan langsung dengan
daulah Islam yang dipimpin Rasulullah SAW.
Daripada
terpukul mundur dengan menahan beban malu dan kerugian parah, lebih baik
membuat serangan mematikan ke pasukan Islam yang sudah melakukan penetrasi di
sebagian daerah Syam. Begitu pikiran yang berkembang di dalam benak Heraklius.
Negeri kecil inilah yang menjadi aset paling menentukan untuk sebuah
pembentukan eksistensi Romawi.
Maka,
diimplementasikanlah sebuah disain perang besar yang bertujuan untuk melumatkan
kekuatan Islam hingga ke akar-akarnya: perang Muktah. Tak tanggung-tanggung,
perang ini melibatkan sekira 200 ribu pasukan utama Romawi dan langsung
dipimpin oleh Heraklius.
Rencana
yang disusun dengan tingkat rahasia tinggi itu dimaksudkan untuk memetik
kemenangan gemilang. Hanya saja Rasulullah dengan bimbingan Rabb-nya dan
kemampuan serta pengalamannya mengatur strategi perang, telah mencium gelagat
adanya rencana jahat itu.
Didukung
oleh semangat jihad dan ribatul ukhuwwah yang kental di kalangan kaum Muslimin
saat itu, dalam tempo singkat, sebelum pasukan Romawi bergerak lebih jauh,
Rasulullah SAW mampu menginstruksikan pemberangkatan pasukan perang. Demi
memahami karakter perang yang akan berlangsung sangat sengit ini, Rasulullah
SAW mempersiapkan tiga komandan yang hendak bergantian menjadi persatuan dan
ukhuwwah pasukan Islam. Mereka adalah Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib,
dan Abdullah bin Rawahah.
Maksud
Rasulullah SAW mempersiapkan ketiganya adalah sebagai berikut. Apabila Zaid
yang memegang panji Islam dan memimpin perang menemui syahid, maka penggantinya
adalah Ja’far. Jika Ja’far pun menemui syahid, komandan perang jatuh pada
Abdullah bin Rawahah. Penunjukan tiga pemimpin perang ini terang menunjukkan
demikian dahsyatnya medan perang yang bakal dihadapi pasukannya.
Maka,
diberangkatkanlah tentara Islam menuju Balqa’, wilayah perbatasan Syam. Dalam
taujih pemberangkatan mereka, Rasulullah SAW menginstruksikan untuk tetap
menjaga soliditas pasukan dengan menyerahkan sikap tunduknya pada pemimpin
perang. “Kalian harus tunduk kepada Zaid bin Haritsah sebagai pimpinan.
Seandainya ia gugur, pimpinan dipegang oleh Ja’far bin Abi Thalib. Dan
seandainya Ja’far gugur pula, maka tempatnya diisi oleh ‘Abdullah bin Rawahah!”
sabdanya.
Zaid
menjadi shahabat kepercayaan pertama untuk memimpin pasukan. Padahal, jika
dilihat dari silsilah kekerabatan, Ja’far—keponakan Rasulullah SAW sebenarnya
lebih dekat dengannya. Sedangkan Zaid adalah anak angkatnya yang secara
kekerabatan jauh, bahkan tak ada ikatannya.
Di
sinilah Rasulullah SAW mengajarkan tentang ajaran Islam yang lebih menanamkan
melihat orang dari derajat ketakwaannya daripada sekadar hubungan sanak-famili.
Dengan dasar ini pula ribatul ukhuwwah atau ikatan persaudaraan diukur dari
ketinggian taqwa seseorang. Dan Rasulullah SAW telah melihat sosok Zaid yang
tinggal serumah dengannya dengan segudang ketakwaan itu.
Tiba
di Balqa’ pasukan Islam telah dihadang pasukan Romawi yang berlapis-lapis.
Jumlah mereka yang berkali lipat dari pasukan Islam tak menyurutkan semangat
jihad. Iman dan taqwa yang telah menyusup ke kalbu dan darah membuat mereka tak
gentar sedikit pun. Bahkan, orang-orang beriman itu bahagia dengan dua pilihan
pasti: menemui Rabb sesegera mungkin atau menang dengan pertolongan pasukan
ghaib yang diturunkan Allah SWT.
Tak
pelak, pertempuran sengit segera terjadi. Dentingan pedang yang beradu,
anak-anak panah yang melesat dengan cepat ke sasaran lawan, serta ringikan kuda
menjadi pemandangan heroik. Sang komandan tidak tinggal diam. Zaid maju ke
depan, mengibas-ngibaskan pedangnya ke arah musuh-musuh yang mengerubutinya.
Pedang di tangannya itu telah menebas leher beberapa musuh serta menusuk tubuh
beberapa di antaranya.
Jumlah
pasukan Romawi yang tak sebanding itu terus merangsek. Hingga kilatan pedang
musuh berhasil menancap di tubuhnya. Ja’far yang bersiaga menjaganya melihat
panji pasukan akan terlepas dari tangan Zaid. Ia segera mengambil dan
mengibar-ngibarkannya begitu Zaid menemui ajalnya.
Giliran
Ja’far memimpin pasukan selama beberapa saat lamanya. Daya juang pasukan Islam
terus ia pompakan, seraya mencari batang leher musuh-musuhnya. Takdir pun
menentukan Ja’far juga menjumpai syahid. Begitu pun sebelum panji Islam jatuh
ke tanah, Abdullah segera menyambarnya lalu memimpin pasukan.
Dan hingga takdir pun
menimpa Abdullah yang perkasa itu di saat pasukannya berada di ambang
kemenangan. Jasadnya terkapar di atas medan jihad. Kejadian ini ditangkap oleh
Rasulullah SAW di Madinah, yang diberitakan oleh malaikat. Rasul pun meneteskan
air mata, antara berduka dan bahagia telah mendidik shahabat-shahabat
terbaiknya dengan semangat ukhuwwah yang tak semu.