Kamis, 19 Februari 2015

Gugurnya Zaid bin Haritsah

HITUNGAN waktu saat itu menunjukkan bulan Jumadil ‘Ula, tahun ke-8 Hijriyah. Penguasa imperium Romawi, Heraklius, sudah tak tahan lagi dengan meluasnya pengaruh Islam yang disebarkan oleh Rasulullah SAW beserta para shahabat yang tanpa kenal lelah dan putus asa itu.

Cemas dan takut memang telah menghantui sang Kaisar. Ia benar-benar melihat adanya bahaya yang amat-sangat yang mengancam eksistensi dan digdaya kerajaan tua itu. Alarm bahaya tersebut tampak terang begitu kekuatan Islam mulai merambah ke wilayah Syam (Syiria)—daerah pendudukan Romawi yang berbatasan langsung dengan daulah Islam yang dipimpin Rasulullah SAW.
Daripada terpukul mundur dengan menahan beban malu dan kerugian parah, lebih baik membuat serangan mematikan ke pasukan Islam yang sudah melakukan penetrasi di sebagian daerah Syam. Begitu pikiran yang berkembang di dalam benak Heraklius. Negeri kecil inilah yang menjadi aset paling menentukan untuk sebuah pembentukan eksistensi Romawi.

Maka, diimplementasikanlah sebuah disain perang besar yang bertujuan untuk melumatkan kekuatan Islam hingga ke akar-akarnya: perang Muktah. Tak tanggung-tanggung, perang ini melibatkan sekira 200 ribu pasukan utama Romawi dan langsung dipimpin oleh Heraklius.
Rencana yang disusun dengan tingkat rahasia tinggi itu dimaksudkan untuk memetik kemenangan gemilang. Hanya saja Rasulullah dengan bimbingan Rabb-nya dan kemampuan serta pengalamannya mengatur strategi perang, telah mencium gelagat adanya rencana jahat itu.
Didukung oleh semangat jihad dan ribatul ukhuwwah yang kental di kalangan kaum Muslimin saat itu, dalam tempo singkat, sebelum pasukan Romawi bergerak lebih jauh, Rasulullah SAW mampu menginstruksikan pemberangkatan pasukan perang. Demi memahami karakter perang yang akan berlangsung sangat sengit ini, Rasulullah SAW mempersiapkan tiga komandan yang hendak bergantian menjadi persatuan dan ukhuwwah pasukan Islam. Mereka adalah Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah.
Maksud Rasulullah SAW mempersiapkan ketiganya adalah sebagai berikut. Apabila Zaid yang memegang panji Islam dan memimpin perang menemui syahid, maka penggantinya adalah Ja’far. Jika Ja’far pun menemui syahid, komandan perang jatuh pada Abdullah bin Rawahah. Penunjukan tiga pemimpin perang ini terang menunjukkan demikian dahsyatnya medan perang yang bakal dihadapi pasukannya.
Maka, diberangkatkanlah tentara Islam menuju Balqa’, wilayah perbatasan Syam. Dalam taujih pemberangkatan mereka, Rasulullah SAW menginstruksikan untuk tetap menjaga soliditas pasukan dengan menyerahkan sikap tunduknya pada pemimpin perang. “Kalian harus tunduk kepada Zaid bin Haritsah sebagai pimpinan. Seandainya ia gugur, pimpinan dipegang oleh Ja’far bin Abi Thalib. Dan seandainya Ja’far gugur pula, maka tempatnya diisi oleh ‘Abdullah bin Rawahah!” sabdanya.
Zaid menjadi shahabat kepercayaan pertama untuk memimpin pasukan. Padahal, jika dilihat dari silsilah kekerabatan, Ja’far—keponakan Rasulullah SAW sebenarnya lebih dekat dengannya. Sedangkan Zaid adalah anak angkatnya yang secara kekerabatan jauh, bahkan tak ada ikatannya.

Di sinilah Rasulullah SAW mengajarkan tentang ajaran Islam yang lebih menanamkan melihat orang dari derajat ketakwaannya daripada sekadar hubungan sanak-famili. Dengan dasar ini pula ribatul ukhuwwah atau ikatan persaudaraan diukur dari ketinggian taqwa seseorang. Dan Rasulullah SAW telah melihat sosok Zaid yang tinggal serumah dengannya dengan segudang ketakwaan itu.

Tiba di Balqa’ pasukan Islam telah dihadang pasukan Romawi yang berlapis-lapis. Jumlah mereka yang berkali lipat dari pasukan Islam tak menyurutkan semangat jihad. Iman dan taqwa yang telah menyusup ke kalbu dan darah membuat mereka tak gentar sedikit pun. Bahkan, orang-orang beriman itu bahagia dengan dua pilihan pasti: menemui Rabb sesegera mungkin atau menang dengan pertolongan pasukan ghaib yang diturunkan Allah SWT.

Tak pelak, pertempuran sengit segera terjadi. Dentingan pedang yang beradu, anak-anak panah yang melesat dengan cepat ke sasaran lawan, serta ringikan kuda menjadi pemandangan heroik. Sang komandan tidak tinggal diam. Zaid maju ke depan, mengibas-ngibaskan pedangnya ke arah musuh-musuh yang mengerubutinya. Pedang di tangannya itu telah menebas leher beberapa musuh serta menusuk tubuh beberapa di antaranya.
Jumlah pasukan Romawi yang tak sebanding itu terus merangsek. Hingga kilatan pedang musuh berhasil menancap di tubuhnya. Ja’far yang bersiaga menjaganya melihat panji pasukan akan terlepas dari tangan Zaid. Ia segera mengambil dan mengibar-ngibarkannya begitu Zaid menemui ajalnya.

Giliran Ja’far memimpin pasukan selama beberapa saat lamanya. Daya juang pasukan Islam terus ia pompakan, seraya mencari batang leher musuh-musuhnya. Takdir pun menentukan Ja’far juga menjumpai syahid. Begitu pun sebelum panji Islam jatuh ke tanah, Abdullah segera menyambarnya lalu memimpin pasukan.
Dan hingga takdir pun menimpa Abdullah yang perkasa itu di saat pasukannya berada di ambang kemenangan. Jasadnya terkapar di atas medan jihad. Kejadian ini ditangkap oleh Rasulullah SAW di Madinah, yang diberitakan oleh malaikat. Rasul pun meneteskan air mata, antara berduka dan bahagia telah mendidik shahabat-shahabat terbaiknya dengan semangat ukhuwwah yang tak semu.

Sejarah Singkat Kelahiran Nabi Muhammad SAW

Nabi Muhammad saw dilahirkan di Makkah, kira-kira 200 M dari Masjidil Haram, pada senin menjelang terbitnya fajar 12 Rabi’ul Awal tahun Gajah bertepatan dengan 20 April 571 M. Dinamakan tahun Gajah karena pada waktu itu bala tentara Abrahah dari Yaman menyerang Ka’bah dengan maksud akan meruntuhkannya. Mereka datang dengan mengendarai Gajah. Namun penyerangan itu gagal total karena Allah mengirim burung Ababil yang menjatuhkan batu-batu dari neraka kepada mereka. Seperti yg diceritakan Allah swt pada surat Al Fiil.

IBNU Sa’ad meriwayatkan bahwa ibunda Rasulullah SAW pernah menceritakan, “Ketika aku melahirkannya, dari farajku (kemaluanku) keluarlah cahaya yang karenanya istan-istana negeri Syam tersinari.” Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, ad-Darimi, serta periwayat selain keduanya yang meriwayatkan versi yang hampir serupa dengan riwaya tersebut.

Ketika Rasulullah SAW lahir, beberapa kejadian yang di luar nalar terjadi karena kehendak Allah SWT. menandakan bahwa sang Rasul terakhir sebagai rahmat seluruh alam telah lahir ke dunia. Pembawa kabar gembira bagi para manusia yang beriman kepada Allah SWT, dan pemberi peringatan bagi orang yang musyrik terhadap Allah SWT.
Ayah Nabi Muhammad saw, Abdullah meninggal dalam perjalanan pulang. Sehabis berniaga dari Syam lalu ia singgah di Madinah, kemudian jatuh sakit dan tiada lama meninggal dunia dan dimakamkan di situ. Pada saat itu Nabi saw masih di dalam kandungan.

Sejak dalam kandungan telah nampak tanda-tanda kebesaran Nabi Muhammad saw, tatkala Nur Muhammad masuk ke dalam rahim ibundanya, Aminah. Allah memerintahkan kepada Malaikat membuka pintu surga Firdaus dan memberitahukannyaa kepada semua penghuni langit dan bumi. Tanah-tanah yang tadinya kering menjadi subur, pohon-pohon kayu berdaun rimbun dan berbuah lebat, angin berhembus sepoi-sepoi basa, binatang-binatang di darat dan di laut ramai gembira memperbincangkannya.
Serta telah terjadi tanda-tanda awal ditusnya nabi ketika kelahiran beliau SAW. Jatuhnya 14 beranda istanan kekaisaran Persia. Padamnya api-api yang disembah oleh kaum Majusi. Gereja-geraja yang roboh di sekitar danau Sawah setelah airnya menyusut. Hal ini diriwayatkan ole hath-Thabrani, al-Baihaqi dan lainnya.
Mengenai silsilah keturunan Nabi Muhammad saw adalah sebagai berikut : Muhammad bin Abdullah (lahir 545 M) bin Abdul Muthalib (497 M) bin Hasyim (464 M) bin Abdul Manaf (430 M) bin Qushai (400 M) bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihir bin Malik bin Nadhar bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan dan seterusnya berselisih pendapat ahli sejarah sampai anak Syits dan Adam.

Menurut seorang Ulama, Nabi Muhammad saw lahir tidak seperti manusia lainnya yaitu keluar dari kemaluan ibunya, tapi dari dalam perut ibunyakeluar cahaya  yang begitu terang lalu terlihat Nabi saw dalam keadaan bersujud. Menurut riwayat lain, Nabi Muhammad saw lahir dengan meletakkan dua tangannya di lantai, mengangkatkan kepalanya ke langit sebagai pertanda ketinggian martabatnya dari semua makhluk. Beliau lahir dalam keadaan bersih, sudah berkhitan, sudah terpotong tali pusarnya, wangi, bercelak mata dengan kodrat Allah swt.

Setelah Rasulullah SAW dilahirkan, ibundanya mengirim utusan ke kakeknya, Abdul Muthalib untuk memberitahukan kabar gembira kelahiran cucunya. Abdul Muthalib datang dan memboyong cucunya itu masuk ke Ka’bah, berdoa dan bersyukur kepada Allah SWT. Diberinyalah bayi itu nama "Muhammad" oleh Abdul Muthalib, padahal nama itu tidaklah popular saat itu. Muhammad SAW pada akhirnya menjadi nama paling dikenal, yang kini menjadi panutan umat.

Pertumbuhan badannya begitu cepat. Umur 3 bulan dapat berdiri, umur 5 bulan dapat berjalan, umur 9 bulan telah cukup kuat dan berbicara lancar. Beberapa hari Beliau menyusu kepada Ibunya, kemudian disusukan oleh Tsuwaibatul-Aslamiah, budak Abu Lahab yang dimerdekakannya setelah mendengar Nabi Muhammad saw lahir. Tsuwaibah selain menyusukan Nabi saw, juga menyusukan anaknya, menyusukan Abu Salamah dan sebelum itu menyusukan Hamzah, paman Nabi saw.

Kemudian Nabi sawa disusukan Halimah binti Abi Zuaib As-Sa’diah, di desa Bani Sa’ad. Beliau diasuh oleh putrinya yang bernama Syiama. Setelah 2 tahun menghirup udara desa, Beliau dikembalikan kepada ibunya, kemudian dibawa ke desa kembali, bergaul dengan penduduk selama 5 tahun. Selama menyusukan Nabi saw, Halimah mendapat berkah, ternaknya subur berkembang biak, air susunya banyak dan rezekinya lapang.
Sebelum berusia 3 tahun dadanya dibedah oleh Malaikat Jibril dan ketika berusia 6 tahun, ibunya Aminah meninggal dunia di Abwa’, Madinah ketika berziarah ke makam ayahandanya Nabi saw bersama Nabi saw. Maka jadilah Beliau saw yatim piatu, lalu Beliau saw diasuh oleh kakeknya, setelah kakeknya meninggal Beliau saw diasuh oleh pamannya, Abu Thalib.

KISAH SAHABAT NABI : ABDULLAH BIN ABBAS

Abdullah bin Abbas, muda usianya luas ilmunya

“Ya Ghulam, maukah kau mendengar beberapa kalimat yang sangat berguna?” tanya Rasulullah suatu ketika pada seorang pemuda cilik.
“Jagalah (ajaran-ajaran) Allah, niscaya engkau akan menda-patkan-Nya selalu menjagamu. Jagalah (larangan-larangan) Allah maka engkau akan mendapati-Nya selalu dekat di hadapanmu.”

Pemuda cilik itu termangu di depan Rasulullah. Ia memusatkan konsentrasi pada setiap patah kata yang keluar dari bibir manusia paling mulia itu. “Kenalilah Allah dalam sukamu, maka Allah akan mengenalimu dalam duka. Bila engkau meminta, mintalah pada-Nya. Jika engkau butuh pertolongan, memohonlah pada-Nya. Semua hal telah selesai ditulis.”

Pemuda yang beruntung itu adalah Abdullah bin Abbas. Ibnu Abbas, begitu ia biasa dipanggil. Dalam sehari itu ia menerima banyak ilmu. Bak pepatah sekali dayung tiga empat pula terlam-paui, wejangan Rasulullah saat itu telah memenuhi rasa ingin tahunya. Pelajaran aqidah, ilmu, dan amal sekaligus ia terima dalam sekali pertemuan.

Keakrabannya dengan Rasulullah sejak kecil membuat Ibnu Abbas tumbuh menjadi seorang lelaki berkepribadian luar biasa. Keikhla-sannya seluas padang pasir tempatnya tinggal. Keberanian dan gairah jihadnya sepanas sinar matahari gurun. Kasihnya seperti oase di tengah sahara.

Hidup bersama dengan Rasulullah benar-benar telah membentuk karakter dan sifatnya. Sebuah kisah menarik melukiskan bagaimana Ibnu Abbas ingin selalu dekat dengan dan belajar dari Rasulullah. Suatu ketika, benaknya dipenuhi rasa ingin tahu yang besar tentang bagaimana cara Rasulullah shalat. Malam itu, sengaja ia menginap di rumah bibinya, Maimunah binti Alharits, istri Rasulullah.

Sepanjang malam ia berjaga, sampai terdengar olehnya Rasulul-lah bangun untuk menunaikan shalat. Segera ia mengambil air untuk bekal wudhu Rasulullah. Di tengah malam buta itu, betapa terkejutnya Rasulullah menemukan Abdullah bin Abbas masih terjaga dan menyediakan air wudhu untuknya.

Rasa bangga dan kagum membuncah dalam dada Rasulullah. Beliau menghampiri Ibnu Abbas, dan dengan lembut dielusnya kepala bocah belia itu. “Ya Allah, berikan dia keahlian dalam agama-Mu, dan ajarilah ia tafsir kitab-Mu,” demikian do’a Rasulullah malam itu.

Setelah berwudhu, Rasul kembali masuk ke rumah untuk menunai-kan shalat malam bersama istrinya. Tak tinggal diam, Ibnu Abbas pun ikut menjadi makmumnya. Awalnya ia berdiri sedikit di belakang Rasulullah, kemudian tangan Rasulullah menariknya untuk maju dan hampir sejajar dengan beliau. Tapi kemudian ia mundur ke belakang, kembali ke tempatnya semula.

Usai shalat, Rasulullah bertanya pada Ibnu Abbas, kenapa ia melakukan hal itu. “Wahai kekasih Allah dan manusia, tak pantas kiranya aku berdiri sejajar dengan utusan Allah,” jawabnya. Di luar dugaan, Rasulullah tidaklah marah atau menunjukkan raut muka tidak suka. Beliau justru tersenyum ramah menyejukkan hati siapa saja yang melihatnya. Bahkan beliau mengulangi doa yang dipanjatkan saat Ibnu Abbas membawa air untuk berwudhu tadi.

Abdullah bin Abbas lahir tiga tahun sebelum Rasulullah hij-rah. Saat Rasulullah wafat, ia masih sangat belia, 13 tahun umurnya. Semasa hidupnya Rasulullah benar-benar akrab dengan mereka yang hampir seusia dengan Abdullah bin Abbas. Ada Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Haritsah, dan sahabat-sahabat kecil lainnya.

Kerap kali Rasulullah meluangkan waktu dan bercanda bersama mereka. Tapi tak jarang pula Rasulullah menasehati mereka. Saat Rasulullah wafat, Ibnu Abbas benar-benar merasa kehilangan. Sosok yang sejak mula menjadi panutannya, kini telah tiada. Siapa lagi yang menghibur kepedihan di malam dingin dan gelap dengan senyum dan doa yang sejuk tiada tara. Siapa lagi yang menanam semangat saat jiwa layu dan hati lusuh tertutup debu.

Tapi keadaan seperti itu tak berlama-lama mengharu-biru pera-saannya. Ibnu Abbas segera bangkit dari kesedihannya, iman tak boleh dibiarkan terus menjadi layu. Meski Rasulullah telah berpu-lang, semangat jihad tak boleh berkurang. Maka Ibnu Abbas pun mulai melakukan perburuan ilmu.

Didatanginya sahabat-sahabat senior, ia bertanya tentang apa saja yang mesti ditimbanya. Tak hanya itu, ia juga mengajak sahabat-sahabat lain yang seusianya untuk belajar pula. Tapi sayang, tak banyak yang mengikuti jejak Ibnu Abbas. Sahabat-sahabat Ibnu Abbas merasa tak yakin, apakah sehabat-shabat senior mau memperhatikan mereka yang masih anak-anak ini. Meski demi-kian, hal ini tak membuat Ibnu Abbas patah semangat. Apa saja yang menurutnya belum dipahami, ia tanyakan pada sahabat-sahabat yang lebih tahu.

Ia ketuk satu pintu dan berpindah ke satu pintu rumah saha-bat-sahabat Rasulullah. Tak jarang ia harus tidur di depan pintu para sahabat, karena mereka sedang istirahat di dalam rumahnya. Tapi betapa terkejutnya mereka tatkala menemui Ibnu Abbas sedang tidur di depan pintu rumahnya.

“Wahai keponakan Rasulullah, kenapa tak kami saja yang mene-mui Anda,” kata para sahabat yang menemukan Ibnu Abbas tertidur di depan pintu rumahnya beralaskan selembar baju yang ia bawa.

“Tidak, akulah yang mesti mendatangi Anda,” kata Ibnu Abbas tegas. Demikiankan kehidupan Ibnu Abbas, sampai kelak ia benar-benar menjadi seorang pemuda dengan ilmu dan pengetahuan yang tinggi. Saking tingginya dan tak berimbang dengan usianya, ada orang yang bertanya tentangnya.

“Bagaimana Anda mendapatkan ilmu ini, wahai Ibnu Abbas?”

“Dengan lidah dan gemar bertanya, dengan akal yang suka berpikir,” demikian jawabnya.

Karena ketinggian ilmunya itulah ia kerap menjadi kawan dan lawan berdiskusi para sahabat senior lainnya. Umar bin Khattab misalnya, selalu memanggil Ibnu Abbas untuk duduk bersama dalam sebuah musyawarah. Pendapat-pendapatnya selalu didengar karena keilmuannya. Sampai-sampai Amirul Mukminin kedua itu memberikan julukan kepada Ibnu Abbas sebagai “pemuda tua”.

Do’a Rasulullah yang meminta kepada Allah agar menjadikan Ibnu Abbas sebagai seorang yang mengerti perkara agama telah terwujud kiranya. Ibnu Abbas adalah tempat bertanya karena kege-marannya bertanya. Ibnu Abbas tempat mencari ilmu karena kesukaannya mencari ilmu.

Salah seorang sahabat utama, Sa’ad bin Abi Waqash pernah berkata tentang Ibnu Abbas. “Tak seorang pun yang kutemui lebih cepat mengerti dan lebih tajam berpikirnya seperti Ibnu Abbas. Ia juga adalah orang yang banyak menyerap ilmu dan luas sifat santunnya. Sungguh telah kulihat, Umar telah memanggilnya saat menghadapi masalah-masalah pelik. Padahal di sekelilingnya masih banyak sahabat yang ikut dalam Perang Badar. Lalu majulah Ibnu Abbas menyampaikan pendapatnya, dan Umar tidak hendak berbuat melebihi apa yang dikatakan Ibnu Abbas.”

Pada masa Khalifah Utsman, Ibnu Abbas mendapat tugas untuk pergi berjihad ke Afrika Utara. Bersama pasukan dalam pimpinan Abdullah bin Abi Sarh, ia berangkat sebagai mujahid dan juru dakwah. Di masa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib, ia pun menawarkan diri sebagai utusan yang akan berdialog dengan kaum khawarij dan berdakwah pada mereka. Sampai-sampai lebih dari 15.000 orang memenuhi seruan Allah untuk kembali pada jalan yang benar.


Di usianya yang ke 71 tahun, Allah memanggilnya. Saat itu umat Islam benar-benar kehilangan seorang dengan kemampuan dan pengetahuan yang luar biasa. “Hari ini telah wafat ulama umat,” kata Abu Hurairah menggambarkan rasa kehilangannya. Semoga Allah memberikan satu lagi penggantinya.

Sedekah dari Tangan ke Tangan

Seorang laki-laki datang menemui Rasulullah saw. la memohon agar beliau memberikan makanan. Rasulullah saw yang saat itu tidak memiliki makanan menyuruh laki-laki itu menemui Fatimah.

Fatimah saat itu hanya memiliki sebuah kalung emas pemberian bibinya. la lalu memberikannya kepada laki-laki itu. Laki-laki itu lalu menemui Rasulullah saw dan memperlihatkan kalung emas itu kepada beliau.

Tak lama kemudian, Abdurrahman bin Auf datang. la membeli kalung emas itu. Laki-laki itu pun berterima kasih kepada Rasulullah saw dan pamit pulang.

Beberapa hari kemudian, utusan Abdurrahman bin Auf bernama Saham datang. la membawa pesan dari tuannya untuk memberikan kalung emas dan seorang budak pada Rasulullah saw. Rasul pun menerima pemberian itu dan memerintahkan Saham agar memberikan kalung emas itu pada Fatimah. Saham lalu menemui Fatimah.

Fatimah berkata pada Saham, "Aku menerima kalung ini dan aku memerdekakanmu."


Budak yang telah dimerdekakan itu berkata pada Fatimah, "Saya sangat senang menyaksikan sedekah dari tangan ke tangan berikutnya. Kalung emas itu kembali padamu.Sementara itu, sedekahmu telah mengenyangkan orang miskin dan mendatangkan pahala bagi Abdurrahman bin Auf. Bahkan, kini kau telah membebaskanku. Maka karena kalung ini juga kamu akan masuk surga."

Do'anya Uwais AlQarni

Suatu ketika, seorang laki-laki dari Yaman bernama Uwais AlQarni mendatangi Rasulullah saw. Namun kerena lama menunggu, laki-laki itu segera pamit. la telah berjanji pada ibunya untuk tidak terlalu lama meninggalkannya.

Rasulullah saw bercerita pada Umar dan Ali. Uwais Al Qarni akan diangkat menjadi penghuni langit karena pengabdiannya pada ibunya.

Rasulullah saw pun berpesan kepada Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib,jika mereka berjumpa Uwais, pintalah doa dan istighfar kepadanya sebab ia bukan penduduk bumi. la salah seorang penghuni langit. Rasulullah saw menyuruh Umar dan Ali memperhatikan tanda putih di tengah telapak tangannya. Orang itu bernama Uwais Al Qarni.

Umar dan Ali merasa penasaran. Keduanya ingin bertemu langsung dengan Uwais.

Umar dan Ali segera menemui Uwais. Keduanya lalu berjabat tangan dengannya. Umar lalu membalikkan telapak tangan Uwais. Ternyata, ada tanda putih seperti yang diceritakan Rasulullah saw. Seketika wajah Uwais bersinar terang ketika tanda putih itu terlihat. Umar dan Ali segera minta didoakan Uwais. Setelah itu, Uwais segera mendoakannya. Uwais lalu menceritakan bahwa sebelum ibunya meninggal, ia membaktikan hidupnya untuk mengurus dan merawat ibunya. Uwais juga menggembalakan ternaknya.

Umar dan Ali sangat kagum dengan ketulusan Uwais. la adalah anak yang sangat berbakti pada ibunya. Maka pantaslah ia diangkat menjadi penghuni langit.


Berbakti kepada ibu menjadikan Uwais memiliki kedudukan mulia di sisi Allah SWT, Yakni menjadi penghuni langit.

Romantisnya Rasulullah SAW Dengan Istrinya

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah sosok manusia yang sempurna.

Di medan perang beliau adalah seorang jenderal profesional yang menguasai taktik dan strategi bertempur. Di tengah masyarakat, beliau adalah teman, sahabat, guru, dan sosok pemimpin yang menyenangkan. Di rumah, beliau adalah seorang kepala rumah tangga yang bisa mendatangkan rasa aman, kasih sayang, sekaligus kebahagiaan.

Rasulullah Sahallahu ‘Alaihi Wassallam dinobatkan oleh Allah sebagai suri tauladan.

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”. (QS: Al Ahzab [33] : 21).
Tidak salah jika  seluruh kehidupan Rasullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam  menjadi contoh baik bagi kita. Termasuk urusan dalam kamar sekalipun.

Di antara sisi romantis Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, beliau mencium istrinya sebelum keluar untuk shalat. Dari ‘Aisyah Radhiallaahu ‘anha, “Bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam mencium sebagian istrinya kemudian keluar menunaikan shalat tanpa berwudhu dahulu.” (HR Ahmad).

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang pria yang sangat lembut. Beliau mengekspresikan cinta kepada istrinya dengan sederhana dan bersahaja. Beliau juga sosok yang dikenal sangat romantis.

Misalnya, beliau biasa memanggil istri-istrinya,  dengan panggilan kesukaan dan panggilan yang indah.

Siti ‘Aisyah, dipanggil dengan panggilan “Ya Humaira” (wahai si merah jambu).

Coba bayangkan, istri mana yang tidak tersanjung saat dipanggil suaminya dengan panggilan ini? Telinga siapa yang tidak ingin mendengar sapaan seperti ini?

Tapi keindahan itu tercipta bukan karena beliau ahli merayu, melainkan karena hati beliau memang bersih, bening, indah dan keluar dari lubuk hati paling dalam.

Dari hati yang indah itulah keluar kata-kata, perilaku, dan sikap yang indah. Dari keindahan hati itulah terpancar segala keindahan dari setiap yang dipandang dan ditemuinya.

Memang, betapa indah hari-hari kehidupan di mata Rasulullah. Romantisme tidak hanya berlaku bagi istri-istrinya, juga anak-anak, bahkan nenek-nenek dan semua makhluk Allah Subhanahu wa Ta`ala lainnya pun merasakannya.

Sikap Rasulullah ini juga ditunjukkan ketika melihat alam dan unsur-unsur di sekitar. Ketika melihat sekuntum bunga yang mulai terbuka kelopaknya, kalbunya bergetar, hatinya bersuka cita, dan segera beliau mendatanginya, mencium dengan bibirnya, dan mengusapnya dengan penuh kasih sayang. Tak lupa beliau mengucapkan: “Aaamu khairin wa barakatin insya Allah.” (tahun baik dan penuh berkah, insya Allah).

Demikian pula ketika beliau mendapati bulan sabit di awal-awal malam kemunculannya, tak lupa menyambutnya dengan sukacita. Dengan penuh optimis beliau bercakap tentangnya: “Hilaalu khairin wa baarakatin insya Allah.” (awal bulan yang baik dan penuh berkah, insya Allah).

Bagitulah Rasulullah, junjungan kita.

Meskipun beliau sebagai seorang pemimpin yang super sibuk mengurus ummat, namun beliau tidak lupa untuk menjalin kemesraan dengan istri-istrinya. Beliau tak segan-segan untuk mandi bersama dengan istri beliau.

Dalam sebuah riwayat,  mandi bersama dengan Siti  ‘Aisyah radhiyallahu anha dalam satu kamar mandi dengan bak yang sama.

Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, ia berkata, “Aku pernah mandi dari jinabat bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan satu tempat air, tangan kami selalu bergantian mengambil air.” (HR Mutafaqun ‘alaih).

Dalam riwayat Ibnu Hibban menambahkan, “Dan tangan kami bersentuhan”.

Rasulullah mengajarkan kepada kita, mandi bersama istri bukanlah suatu hal yang tercela.  Jika hal ini dianggap tercela, tentulah beliau Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak akan melakukannya.

Rasulullah juga sangat mengerti perasaan istri-istrinya dan tau cara menyenangkan dan memberi kasih sayang. Rasulullah, sering tidur di pangkuan Siti ‘Aisyah, meski istrinya sedang haids.

Dari Urwah ia pernah ditanya orang, “Bolehkah wanita haids melayaniku dan bolehkah wanita junub mendekatiku?”

Urwah berkata, “Semuanya boleh bagiku, semuanya boleh melayaniku, dan tiada celanya. ‘Aisyah telah menceriterakan kepadaku bahwa dia pernah menyisir rambut Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam ketika dia sedang haidsh, padahal ketika itu Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sedang i’tikaf di masjid; beliau mendekatkan kepalanya kepadanya (‘Aisyah) dan dia (‘Aisyah) ada di dalam kamarnya, lalu ia menyisir beliau, padahal ia sedang haids.“

Ummu Salamah berkata, “Ketika aku bersama Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidur-tiduran di kain hitam persegi empat (dalam satu riwayat: di lantai, tiba-tiba aku haids, lalu aku keluar dan mengambil pakaian haidsku, lalu beliau bertanya, ‘Mengapa kamu? apakah kamu nifas?’ Aku menjawab, ‘Ya.’ Beliau lalu memanggilku, lalu aku tidur bersama beliau di lantai yang rendah.”

Ummu Salamah biasa mandi bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam  dari satu bejana dan beliau suka menciumnya, padahal beliau sedang berpuasa.

Rasulullah juga mengajarkan kita untuk memperlakukan istri dengan istimewa. Hal itu ditunjukan ketika Nabi  ketika beliau tidak sungkan mandi dari sisa air  istrinya.

Dari Ibnu Abbas, “Bahwa Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah mandi dari air sisa Maimunah.” (HR Muslim).

Nabi juga dikenal memanjakan wanita (istri-istrinya).

Dari Anas, dia berkata: “Kemudian kami pergi menuju Madinah (dari Khaibar). Aku lihat Nabi Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menyediakan tempat duduk yang empuk dari kain di belakang beliau untuk Shafiyyah. Kemudian beliau duduk di samping untanya sambil menegakkan lutut beliau dan Shafiyyah meletakkan kakinya di atas lutut beliau sehingga dia bisa menaiki unta tersebut.” (HR Bukhari)

Sepiring berdua, gurauan dan ciuman

Rasulullah membiasakan mencium istri ketika hendak bepergian atau baru pulang.

Dari ‘Aisyah radhiallahu anhu, bahwa Nabi SAW biasa mencium istrinya setelah wudhu’, kemudian beliau shalat dan tidak mengulangi  wudhu’nya.”(HR ‘Abdurrazaq)

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam  juga suka memakan dan meminum berdua dari piring dan gelas istri-istrinya tanpa merasa risih atau jijik.

Dari ‘Aisyah RA, ia berkata: “Saya dahulu biasa makan his (sejenis bubur) bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam .“ (HR. Bukhori dalam Adabul Mufrod)

Dari Aisyah Ra, ia berkata: “Aku biasa minum dari gelas yang sama ketika haidh, lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam mengambil gelas tersebut dan meletakkan mulutnya di tempat aku meletakkan mulut, lalu beliau minum.” (HR Abdurrozaq dan Said bin Manshur, dan riwayat lain yang senada dari Muslim.)

Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam  pernah minum di gelas yang digunakan ‘Aisyah. Beliau juga pernah makan daging yang pernah digigit ‘Aisyah.(HR Muslim No. 300)

Nabi saw biasa memijit hidung ‘Aisyah jika ia marah dan beliau berkata, Wahai ‘Aisya, bacalah do’a: “Wahai Tuhanku, Tuhan Muhammad, ampunilah dosa-dosaku, hilangkanlah kekerasan hatiku, dan lindungilah diriku dari fitnah yang menyesatkan.” (HR. Ibnu Sunni)

Rasulullah juga bergurau bersama, di kala sedang dekat dengan istrinya.

Dalam sebuah riwayat disebutkan, ‘Aisyah dan Saudah pernah saling melumuri muka dengan makanan. Nabi SAW hanya tertawa melihat mereka. (HR Nasa’i dengan isnad hasan)

Begitulah Rasulullah. Beliau dikenal bersikap lembut dan sayang pada istrinya. Beliau juga menyayangi dan mengistimewakan istrinya di kala istrinya sedang sakit.

Dari ‘Aisyah, ia mengatakan, beliau (Nabi) adalah orang yang paling lembut dan banyak menemani istrinya yang sedang mengadu atau sakit. (HR Bukhari No 4750, HR Muslim No 2770)

Alhasil, Islam banyak mengajarkan kita tentang kelembutan dan sikap sayang pada pasangan. Itulah sikap romantisme yang diajarkan Islam pada para suami terhadap para istri. Sebab Rasullah bersabda, sebaik-baik para suami, adalah mereka yang bisa bersikap baik terhadap istrinya.


Dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah bersabda: “Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang paling baik akhlaknya, dan orang yang paling baik diantara kalian ialah yang paling baik terhadap istrinya.” (HR.Tirmidzi, Ibnu Hibban, hadits hasan shahih).

WANITA PEMERAH SUSU DAN ANAK GADISNYA

Pada zaman pemerintahan Umar bin Khaththab hiduplah seorang janda miskin bersama seorang anak gadisnya di sebuah gubuk tua di pinggiran kota Mekah. Keduanya sangat rajin beribadah dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Setiap pagi, selesai salat subuh, keduanya memerah susu kambing di kandang. Penduduk kota Mekah banyak yang menyukai susu kambing wanita itu karena mutunya yang baik.
Pada suatu malam, Khalifah Umar ditemani pengawalnya berkeliling negeri untuk melihat dari dekat keadaan hidup dan kesejahteraan rakyatnya. Setelah beberapa saat berkeliling, sampailah khalifah di pinggiran kota Mekah. Beliau tertarik melihat sebuah gubuk kecil dengan cahaya yang masih tampak dari dalamnya yang menandakan bahwa penghuninya belum tidur. Khalifah turun dari kudanya, lalu mendekati gubuk itu. Samar-samar telinganya mendengar percakapan seorang wanita dengan anaknya.
“Anakku, malam ini kambing kita hanya mengeluarkan susu sedikit sekali. Ini tidak cukup untuk memenuhi permintaan pelanggan kita besok pagi,” keluh wanita itu kepada anaknya.
Dengan tersenyum, anak gadisnya yang beranjak dewasa itu menghibur, “Ibu, tidak usah disesali. Inilah rezeki yang diberikan Allah kepada kita hari ini. Semoga besok kambing kita mengeluarkan susu yang lebih banyak lagi.”
“Tapi, aku khawatir para pelanggan kita tidak mau membeli susu kepada kita lagi. Bagaimana kalau susu itu kita campur air supaya kelihatan banyak?”
“Jangan, Bu!” gadis itu melarang. “Bagaimanapun kita tidak boleh berbuat curang. Lebih baik kita katakan dengan jujur pada pelanggan bahwa hasil susu hari ini hanya sedikit. Mereka tentu akan memakluminya. Lagi pula kalau ketahuan, kita akan dihukum oleh Khalifah Umar. Percayalah, ketidakjujuran itu akan menyiksa hati.”
Dari luar gubuk itu, Khalifah Umar semakin penasaran ingin terus mendengar kelanjutan percakapan antara janda dan anak gadisnya itu.
“Bagaimana mungkin khalifah Umar tahu!” kata janda itu kepada anaknya. “Saat ini beliau sedang tertidur pulas di istananya yang megah tanpa pernah mengalami kesulitan seperti kita ini?”
Melihat ibunya masih tetap bersikeras dengan alasannya, gadis remaja itu tersenyum dengan lembut dan berkata, “Ibu, memang Khalifah tidak melihat apa yang kita lakukan sekarang. Tapi Allah Maha Melihat setiap gerak-gerik makhluknya. Meskipun kita miskin, jangan sampai kita melakukan sesuatu yang dimurkai Allah.”
Dari luar gubuk, khalifah tersenyum mendengar ucapan gadis itu. Beliau benar-benar kagum dengan kejujurannya. Ternyata kemiskinan dan himpitan keadaan tidak membuatnya terpengaruh untuk berbuat curang. Setelah itu khalifah mengajak pengawalnya pulang.
Keesokan harinya, Umar memerintahkan beberapa orang untuk menjemput wanita pemerah susu dan anak gadisnya untuk menghadap kepadanya. Beliau ternyata bermaksud menikahkan putranya dengan gadis jujur itu.

Sungguh sebuah teladan bagi kita semua, bahwa kejujuran karena takut kepada Allah adalah suatu harta yang tak ternilai harganya. Mungkin ini yang sulit kita dapatkan sekarang.

ASAL-USUL KUMANDANG ADZAN

(Riwayat : Anas r.a; Abu Dawud; Al Bukhari)
Seiring dengan berlalunya waktu, para pemeluk agama Islam yang semula sedikit, bukannya semakin surut jumlahnya. Betapa hebatnya perjuangan yang harus dihadapi untuk menegakkan syiar agama ini tidak membuatnya musnah. Kebenaran memang tidak dapat dmusnahkan.
Semakin hari semakin bertambah banyak saja orang-orang yang menjadi penganutnya. Demikian pula dengan penduduk dikota Madinah, yang merupakan salah satu pusat penyebaran agama Islam pada masa-masa awalnya. Sudah sebagian tersebar dari penduduk yang ada dikota itu sudah menerima Islam sebagai agamanya.
Ketika orang-orang Islam masih sedikit jumlahnya, tidaklah sulit bagi mereka untuk bisa berkumpul bersama-sama untuk menunaikan sholat berjama` ah. Kini, hal itu tidak mudah lagi mengingat setiap penduduk tentu mempunyai ragam kesibukan yang tidak sama. Kesibukan yang tinggi pada setiap orang tentu mempunyai potensi terhadap kealpaan ataupun kelalaian pada masing-masing orang untuk menunaikan sholat pada waktunya.
Dan tentunya, kalau hal ini dapat terjadi dan kemudian terus-menerus berulang, maka bisa dipikirkan bagaimana jadinya para pemeluk Islam. Ini adalah satu persoalan yang cukup berat yang perlu segera dicarikan jalan keluarnya.
Pada masa itu, memang belum ada cara yang tepat untuk memanggil orang sholat. Orang-orang biasanya berkumpul dimasjid masing -masing menurut waktu dan kesempatan yang dimilikinya. Bila sudah banyak terkumpul orang, barulah sholat jama `ah dimulai.
Atas timbulnya dinamika pemikiran diatas, maka timbul kebutuhan untuk mencari suatu cara yang dapat digunakan sebagai sarana untuk mengingatkan dan memanggil orang-orang untuk sholat tepat pada waktunya tiba.
Ada banyak pemikiran yang diusulkan. Ada sahabat yang menyarankan bahwa manakala waktu sholat tiba, maka segera dinyalakan api pada tempat yang tinggi dimana orang-orang bisa dengan mudah melihat ketempat itu, atau setidak-tidaknya asapnya bisa dilihat orang walaupun ia berada ditempat yang jauh. Ada yang menyarankan untuk membunyikan lonceng. Ada juga yang mengusulkan untuk meniup tanduk kambing. Pendeknya ada banyak saran yang timbul.
Saran-saran diatas memang cukup representatif. Tapi banyak sahabat juga yang kurang setuju bahkan ada yang terang-terangan menolaknya. Alasannya sederhana saja : itu adalah cara-cara lama yang biasanya telah dipraktekkan oleh kaum Yahudi. Rupanya banyak sahabat yang mengkhawatirkan image yang bisa timbul bila cara-cara dari kaum kafir digunakan. Maka disepakatilah untuk mencari cara-cara lain.
Lantas, ada usul dari Umar r.a jikalau ditunjuk seseorang yang bertindak sebagai pemanggil kaum Muslim untuk sholat pada setiap masuknya waktu sholat. Saran ini agaknya bisa diterima oleh semua orang, Rasulullah SAW juga menyetujuinya. Sekarang yang menjadi persoalan bagaimana itu bisa dilakukan ? Abu Dawud mengisahkan bahwa Abdullah bin Zaid r.a meriwayatkan sbb :
“Ketika cara memanggil kaum muslimin untuk sholat dimusyawarahkan, suatu malam dalam tidurku aku bermimpi. Aku melihat ada seseorang sedang menenteng sebuah lonceng. Aku dekati orang itu dan bertanya kepadanya apakah ia ada maksud hendak menjual lonceng itu. Jika memang begitu aku memintanya untuk menjual kepadaku saja.
Orang tersebut malah bertanya,” Untuk apa ? Aku menjawabnya,”Bahwa dengan membunyikan lonceng itu, kami dapat memanggil kaum muslim untuk menunaikan sholat.” Orang itu berkata lagi,”Maukah kau kuajari cara yang lebih baik ?” Dan aku menjawab ” Ya !”
Lalu dia berkata lagi, dan kali ini dengan suara yang amat lantang , ” Allahu Akbar,Allahu Akbar..”
Ketika esoknya aku bangun, aku menemui Rasulullah SAW dan menceritakan perihal mimpi itu kepada beliau. Dan beliau berkata,”Itu mimpi yang sebetulnya nyata. Berdirilah disamping Bilal dan ajarilah dia bagaimana mengucapkan kalimat itu. Dia harus mengumandangkan adzan seperti itu dan dia memiliki suara yang amat lantang.” Lalu akupun melakukan hal itu bersama Bilal.”

Rupanya, mimpi serupa dialami pula oleh Umar r.a, ia juga menceritakannya kepada Rasulullah SAW . Nabi SAW bersyukur kepada Allah SWT atas semua ini.

SALMAN AL-FARIS R.A

Kelahiran dan pertumbuhannya:
Salman Al-Farisi r.a. lahir di suatu desa bernama Jiyan di wilayah kota Aspahan – Iran, yaitu antara kota Teheran dengan Syiraz. Setelah Salman r.a. mendengar kebangkitan Rasulullah saw. dia langsung berangkat meninggalkan Persia mencari Nabi saw. untuk menyatakan keislamannya.

Dalam suatu kisah, Salman menceritakan otobiografinya sbb. ‘Saya adalah anak muda Persia yang berasal dari suatu desa di kota Aspahan yang bernama Jiyan.
Ayah saya adalah kepala desa dan orang terkaya serta terhormat di desa itu. Dari sejak lahir, saya adalah orang yang paling disayanginya, kasih sayangnya kepada saya semakin hari semakin kental, sehingga saya di kurung di rumah bagaikan gadis pingitan.

Saya termasuk orang yang takwa dalam agama majusi, sehingga saya merasakan nilai api yang kami sembah itu dan saya diberi tanggungjawab menyalakannya, jangan sampai padam sepanjang hari dan sepanjang malam. Ayah saya mempunyai ladang yang luas yang memberi kami penghidupan yang cukup. Ayah saya selalu mengurusi dan memanennya sendiri.

Di suatu hari, dia tidak bisa pergi ke ladang, lalu dia mengatakan kepada saya, ‘Anakku! Ayah sibuk dan tidak bisa pergi ke ladang hari ini, sebab itu pergilah urusi ladang tersebut menggantikan Ayah.’ Lalu saya berangkat menuju ladang kami. Di tengah perjalanan, saya melewati sebuah gereja Kristen dan mendengar suara mereka yang sedang beribadah di dalam. Hal itu menarik perhatian saya karena saya tidak pernah tahu sedikitpun tentang agama Kristen dan agama lainnya, karena sepanjang usia saya selalu dipingit di dalam rumah oleh orang tua saya. Setelah mendengar suara itu, saya masuk ingin mengetahui secara dekat apa yang sedang mereka lakukan. Setelah saya memperhatiakan apa yang mereka kerjakan, saya merasa tertarik dengan cara mereka beribadah, malah saya tertarik dengan agama mereka. Saya mengatakan dalam hati saya, ‘Sungguh agama mereka ini lebih baik dari agama kami.’ Saya tidak keluar dari gereja tersebut sampai matahari terbenam sehingga saya tidak jadi pergi ke ladang kami. Saya menayakan kepada mereka, ‘Dari mana asal agama ini?’ Mereka menjawab, ‘Dari daerah Syam.’

Setelah malam menjelang, saya pulang ke rumah. Ayah saya langsung menanyakan kepada saya apa yang telah saya lakukan. Saya menjawab, ‘Hai Ayahku! Saya melewati sekelompok orang yang sedang beribadah di dalam gereja, lalu saya tertarik dengan cara mereka beribadah. Saya berada bersama mereka sampai matahari terbenam.’ Ayah saya langsung marah mendengar tindakan saya dan dia mengatakan,
‘Hai anakku! Agama mereka itu tidak baik, agamamu dan agama nenek moyangmu lebih baik dari agama itu.’ Saya menjawab, ‘Tidak ayah! Agama mereka lebih baik dari agama kita.’ Dari perkataan saya itu, ayah saya takut kalau-kalau saya akan murtad, lalu dia mengurung saya di rumah dengan mengekang kaki saya.’

Berangkat ke negeri Syam:
Ketika saya mendapat kesempatan, saya mengirim pesan kepada kaum Kristen itu. Saya mengatakan,’Bila ada rombongan yang akan berangkat ke negeri Syam, tolong saya diberi tahu.’ Ternyata tidak berapa lama ada satu rombongan yang akan berangkat ke negeri Syam. Mereka pun langsung memberitahukannya kepada saya. Saya berusaha membuka kekang kaki saya dan saya berhasil membukanya. Saya berangkat bersama mereka secara sembunyi dan akhirnya kami sampai di negeri Syam. Setibanya di negeri Syam, saya mengatakan, ‘Siapa orang nomor satu dalam agama ini?’ Mereka menjawab, ‘Uskup pengasuh gereja.’ Saya mendatanginya dan mengatakan kepadanya, ‘Saya tertarik dengan agama Kristen ini dan saya ingin mengikuti dan membantumu sekaligus belajar dari kamu dan beribadah bersama kamu.’ Dia menjawab, ‘Silakan masuk!’ Saya pun masuk dan menjadi pembantunya.
Belum berlangsung lama, saya menilai bahwa orang tersebut adalah orang jahat, dia menyuruh pengikutnya untuk berderma dan mengiming-imingi mereka dengan pahala yang sangat besar. Setelah mereka memberikannya dengan niat fi sabilillah, ternyata dia monopoli untuk dirinya sendiri, tidak diberikan kepada fakir miskin sedikitpun. Dia berhasil mengumpulkan sebanyak tujuh karung emas. Melihat keadaan itu, saya menaruh kebencian yang luar biasa terhadapnya. Ketika dia meninggal, kaum Kristen berkumpul untuk menguburkannya, ketika itu saya mengatakan kepada mereka, ‘Sesungguhnya teman kamu ini adalah orang jahat, dia menyuruh kamu bersedekah dan mengiming-imingkan pahala besar, setelah kalian kumpulkan, dia monopoli untuk dirinya sendiri, dia tidak berikan sedikitpun kepada fakir miskin.’ Mereka menjawab, ‘Dari mana kamu tahu?’ Saya menjawab, ‘Mari saya tunjukkan kepada kamu sekarang juga tempat penyimpanan harta itu’ Mereka mengatakan, ‘Ayo tunjukkan kepada kami tempatnya.’ Saya pun menunjukkannya dan mereka menemukan tujuh karung emas dan perak. Setelah mereka melihat secara langsung, mereka mengatakan, ‘Demi Allah kita tidak akan menguburkannya, kita harus menyalib dan melemparinya dengan batu.’
Tidak lama kemudian mereka mengangkat orang lain sebagai penggantinya, lalu saya mengikutinya. Sungguh saya belum pernah mendapatkan orang yang paling zuhud dan mengharap akhirat melebihi orang itu. Ibadahnya yang berlangsung siang malam membuat saya mnyenanginya, lalu saya hidup bersama dia beberapa tahun. Ketika menjelang wafatnya, saya mengatakan kepadanya, ‘Ya Polan! Kepada siapa engkau pesankan saya dan dengan siapa saya akan hidup sepeninggal kamu?’
Dia menjawab, ‘Ya anakku! Terus terang saya tidak melihat ada orang yang tingkat keagamaannya seperti kita, kecuali satu orang di kota Musol yang bernama Polan. Dia tidak merubah-rubah dan mengganti-ganti ayat Allah. Oleh sebab itu carilah orang itu.’

Sepeninggal teman saya itu, saya pergi menyusul orang tersebut ke kota Musol. Setibanya di rumah beliau saya menceritakan kisah saya dan mengatakan kepadanya, ‘Ketika si Polan hendak meninggal dunia dia memesankan kepada saya untuk menyusul kamu, dia memberitahukan kepada saya bahwa kamu berpegang kuat dengan kebenaran. Dia mengatakan kepada saya, kalau begitu, tinggallah bersama saya. Saya pun tinggal bersama beliau, dan memang betul dia adalah orang baik. Tidak lama kemudian, diapun menemui ajalnya. Ketika hendak meninggal saya bertanya kepadanya, ‘Ya Polan! Janji Tuhan sudah dekat kepada Anda, Anda tahu kondisi saya sebenarnya, oleh sebab itu kepada siapa Anda memesankan saya dan siapa yang harus saya ikuti?’ Dia menjawab, ‘Hai anakku! Terus terang saya tidak melihat ada orang yang tingkat keagamaannya seperti kita kecuali seorang di Nasibin yang bernama Polan, susullah dia ke sana’ Setelah orang itu bersemayam di liang lahad.

Saya berangkat ke Nasibin mencari orang yang disebutkan itu. Saya menceritakan kepadanya kisah saya dan pesan teman saya sebelumnya. Dia mengatakan, ‘Tinggallah bersama saya.’ Saya pun tinggal bersama dia dan ternyata memang dia adalah orang baik seperti dua orang teman saya sebelumnya. Akan tetapi tidak lama kemudian dia pun menemui ajalnya. Ketika menjelang maut, saya bertanya kepadanya, ‘Engkau telah mengetahui kondisi saya sebenarnya. Oleh sebab itu kepada siapa engkau memesankan saya?’ Dia menjawab, ‘Ya anakku! Terus terang saya tidak menemukan ada orang yang tingkat keagamaannya seperti kita kecuali seorang di kota Amuriah yang bernama Polan, carilah orang itu.’

Saya pun mencarinya dan saya menceritakan kisah saya kepadanya. Dia menjawab, ‘Tinggallah bersama saya.’ Saya pun tinggal bersama dia. Ternyata memang dia orang baik seperti yang dikatakan orang sebelumnya. Selama saya tinggal bersama dia saya berhasil mendapatkan beberapa ekor sapi dan harta kekayaan lainnya. Pendeta Kristen memesan Salman mengikuti Nabi. Kemudian orang tersebut pun menemui ajalnya seperti yang sebelumnya. Ketika menjelang kematiannya, saya mengatakan kepadanya, ‘Anda mengetahui kondisi saya sebenarnya, oleh sebab itu kepada siapa engkau akan pesankan saya atau apa pesan Anda untuk saya lakukan?’ Dia menjawab, ‘Hai anakku! Terus terang saya tidak menemukan seorang-pun di muka bumi ini yang masih berpegang dengan agama kita, namun waktunya sudah tiba, seorang nabi yang akan membawa agama Nabi Ibrahim akan muncul di tanah Arab, dia akan hijrah dari tanah tumpah darahnya ke daerah yang penuh dengan pohon kurma di antara dua gunung, dia mempunyai tanda kenabian yang sangat jelas, dia mau memakan hadiah tapi tidak mau memakan sedekah, di antara bahunya terdapat cap kenabian. Jika Anda bisa menyusul ke negeri itu, silakan.’ Tidak lama kemudian dia pun meninggal dunia, saya pun tinggal di kota Amuriah untuk beberapa waktu.

Datang ke jazirah Arabia:
Ketika rombongan pedagang dari Suku Kalb -Arab- lintas di Amuriah, saya berkata kepada mereka, ‘Jika kalian sanggup membawa saya ke tanah Arab, saya berikan kepada kalian sapi dan harta kekayaan saya ini.’ Mereka menjawab, ‘Ya, kami sanggup membawa kamu.’ Saya pun memberikan sapidan kekayaan saya tersebut kepada mereka dan mereka pun membawa saya.

Ketika saya sampai di Wadil qura, mereka menipu saya dan menjual saya kepada kepada seorang yahudi dan memperlakukan saya sebagai hambanya. Suatu ketika, saudaranya dari suku Quraizah datang menemuinya, lalu dia membeli dan membawa saya pergi ke Yasrib (Madinah). Di sana saya melihat pohon kurma yang disebut oleh teman saya yang di Amuria, dari diskripsi yang disampaikan teman saya itu, saya tahu persis bahwa inilah kota yang dimaksudkan itu. Saya pun tinggal brsama tuan saya di kota itu. Ketika itu Nabi saw. sudah mulai mengajak kaumnya di Mekah untuk masuk Islam, namun saya tidak mendengar apa-apa dari kegiatan Nabi itu karena kesibukan saya sehari-hari sebagai budak.

Memeluk Islam:
Tidak berapa lama, Rasulullah saw. pun hijrah ke Yasrib. Demi Allah ketika saya berada di atas sebatang pohon kurma milik tuan saya, sedang memberesi kurma itu, sedangkan tuan saya duduk dibawah, seorang saudaranya datang dan mengatakan kepadanya, ‘Celaka besar atas bani Qilah, mereka sekarang sedang berkumpul di Kuba, menunggu seorang yang mengklaim dirinya sebagai seorang nabi akan datang hari ini.’ Setelah saya mendengar pembicaraan mereka itu, saya langsung merinding kayak demam, saya gemetar, sehingga saya khawatir akan jatuh ke tuan saya. Saya segera turun dari pohon kurma tersebut lalu mengatakan kepada tamu itu, ‘Apa tadi yang Anda katakan? Tolong ulangi katakan kepada saya!’ Tuan saya langsung marah dan memukul saya sekuat-kuatnya lalu mengatakan, ‘Urusan apa kamu dengan berita itu? Kembali teruskan pekerjaanmu!’

Di sore harinya, saya mengambil sedikit kurma yang telah saya kumpulkan sebelumnya, lalu saya berangkat ke tempat Nabi tinggal. Ketika itu saya mengatakan kepada Rasulullah, ‘Saya mendengar bahwa Anda adalah orang saleh, datang bersama teman-teman dari kejauhan memerlukan sesuatu. Di tangan saya ada sedikit sedekah, nampaknya kamu lebih pantas menerimanya.’ Lalu saya dekatkan kurma itu kepada mereka. Rasulullah saw. mengatakan kepada para Sahabat, ‘Makanlah’ sedangkan dia sendiri tidak memakannya. Saya mengatakan dalam hati saya, ‘Ini dia satu tanda kenabiannya.’ Kemudian saya kembali ke rumah dan mengambil beberapa buah kurma, ketika Nabi saw berangkat dari Quba ke Madinah, saya mendatanginya dan mengatakan kepadanya, ‘Tampaknya Anda tidak memakan sedekah, ini ada sedikit hadiah saya bawa sebagai penghormatan kepada Anda. ’Rasululullah pun memakannya dan menyuruh sahabat untuk ikut memakannya, lalu mereka makan bersama-sama. Dalam hati saya berkata, ‘Ini dia tanda kenabian kedua’ Ketika Nabi berada di Baqi Gargad, ingin menguburkan seorang sahabat, saya mendatangi beliau dan melihat beliau sedang duduk memakai dua selendang. Saya mengucapkan salam kepadanya, kemudian saya berjalan berputar sekeliling beliau untuk melihat punggungnya, barang kali saja saya dapat melihat cap seperti yang dikatakan oleh teman saya di Amuriah. Setelah Nabi melihat bahwa saya memperhatikan punggung beliau, dia mengerti tujuan saya, lalu dia mengangkat selendangnya, ketika itu saya melihat ada cap, lalu saya yakin bahwa itulah cap kenabian, lalu saya memeluk dan mencium beliau sambil menangis. Melihat hal itu Rasulullah saw. bertanya, ‘Apa gerangan yang terjadi pada kamu?’ Saya pun menceritakan kisah saya dan beliau sangat kagum dan beliau menginginkan agar saya perdengarkan kepada para sabahat, lalu saya memperdengarkannya. Mereka semua kagum dan gembira yang tiada taranya.

Salman masuk Islam dan dimerdekakan, seterusnya menjadi seorang sahabat yang sangat mulia. Dia sempat menjabat gubernur di zaman khulafaur Rasyidun di beberapa negeri. Mudah-mudahan Allah meridai beliau.


Dalam satu riwayat, disebutkan bahwa Rasulullah saw. pernah meletakkan tangannya di atas Salman, lalu bersabda, ‘Seandainya iman berada nun jauh di planet Tata surya, pasti akan dicapai oleh orang-orang mereka ini.’ sambil beliau menunjuk kepada Salman r.a.