( ORANJE HOTEL / HOTEL ORANGE / HOTEL MAJAPAHIT / HOTEL MANDARIN )
TAHUN 2011, Kota Surabaya memperingati Ulang tahun ke 718. Tepatnya pada
tanggal 31 Mei 2011 ini. Peringatan Hari Jadi Kota Surabaya, dulu diperingati
setiap tanggal 1 April. Sebab pada tanggal 1 April 1906 itulah Pemerintah
Kota Surabaya terbentuk. Tetapi, mengapa sekarang warga kota Surabaya
merayakan hari jadi Kota Pahlawan ini menjadi tanggal 31 Mei?
Seandainya, HUT Surabaya diperingati setiap tanggal 1 April, maka tahun 2011
ini Surabaya baru berusia 108 tahun. Namun dengan diubah menjadi tanggal 31
Mei, maka usianya menjadi tujuh abad lebih, yakni 718 tahun. Sebab, hari
lahir Surabaya dianggap tanggal 31 Mei 1293.
Perubahan hari ulang tahun Kota Surabaya itu terjadi sejak tahun 1975.
Artinya pada tahun 1974, Surabaya masih memperingati HUT ke 68 pada tanggal 1
April 1974. Setahun kemudian, pada tahun 1975, HUT itu berubah menjadi
tanggal 31 Mei dan serta merta Surabaya menjadi sangat tua, yakni berusia 682
tahun waktu itu.
Nah, generasi muda dan generasi yang akan datang perlu mengetahu sejarah Kota
Surabaya. Termasuk sejarah perubahan hari jadi Surabaya dari tanggal 1 April
menjadi 31 Mei.
Beginilah kisahnya:
Berdirinya Pemerintahan Kota Surabaya, bersamaan dengan empat kota di Hindia Belanda atau Indonesia
waktu sekarang. Ini adalah pembentukan pemerintahan kota yang pertama kali di
Nusantara ini. Keempat kota itu adalah: Surabaya, Bandung, Medan, dan
Makassar. Selanjut tiap tanggal 1 April berdiri kota-kota lain di Indonesia.
Pemerintahan Kota umumnya didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda di kota
yang banyak ditinggali oleh warga Belanda. Demi keamanan dan terpisah dari
Pemerintahan Kabupaten Surabaya yang dipimpin oleh bupati yang berasal dari
warga pribumi. Sedangkan Pemerintah Kota dinyatakan bersifat otonom dan
dipimpin oleh bangsa Belanda. Pemerintahan Kota disebut Gemeente.
Status yang diberikan kepada Surabaya oleh Pemerintahan Hindia Belanda tahun
1906 adalah “Zelfstaandige Stadsgemeente” atau Kotapraja dengan hak otonom.
Peringatan HUT (Hari Ulang Tahun) Kota Surabaya yang selalu dirayakan setiap
tanggal 1 April itu dirasa kurang sreg atau kurang pas. Rasanya kurang pas
kalau Surabaya yang sudah ada sejak zaman Kerajaan Mojopahit, ternyata dalam
peringatan HUT-nya masih “terlalu muda”.
Dalam berbagai legenda dan cerita lama, nama Surabaya tidak lepas dari
sejarah berdirinya Karajaan Majapahit. Maka disepakatilah, bahwa hari lahir
Surabaya hampir bersamaan dengan berdirinya Kerajaan Majapahit.
Citra dan image sudah terbentuk, bahwa Surabaya sudah berusia “tua sekali”,
yakni tujuh abad. Hari ulang tahunnya diperingati setiap tanggal 31 Mei,
karena disepakati Surabaya ada dan berdiri sebagai sebuah permukiman resmi
pada tanggal 31 Mei 1293.
Ceritanya dulu, beberapa orang yang peduli terhadap Surabaya, menyampaikan
kepada Walikota Surabaya, R.Soekotjo (waktu itu), agar hari lahir atau hari
jadi Surabaya, tidak berdasarkan pembentukan pemerintahan kota atau Gemeente,
tetapi berdasarkan sejak kapan adanya nama Surabaya disebutkan sebagai suatu
kawasan permukiman. Dengan demikian, usia Surabaya tidak terlalu muda, namun
sudah sekian abad.
Para tokoh masyarakat, ahli sejarah, pengamat dan para wakil rakyat waktu itu
bersepakat untuk melakukan pengkajian tentang sejarah Surabaya. Dari
penelusuran sejarah yang diperoleh dari berbagai buku bacaan, prasasti dan
temuan-temuan lainnya, termasuk cerita rakyat dan legenda, ditemukan beberapa
tanggal yang mempunyai kaitan dengan sejarah Surabaya
Berdasarkan keputusan Walikota Surabaya tahun 1973, dibentuklah tim khusus
untuk melakukan penelitian. Tim itu melakukan penelitian secara ilmiah,
selama satu tahun lebih. Akhirnya, ada empat tanggal yang ditetapkan sebagai Alternatif
hari jadi Surabaya. Dari empat tanggal yang diusulkan itu, ditetapkan tiga
tanggal yang cukup layak dan satu tanggal dinyatakan minderheids nota, oleh
anggota tim.
Alternatif pertama yang diajukan tim adalah tanggal 31 Mei 1293. Disebutkan,
bahwa pada tanggal itu, tentara Raden Wijaya dari Mojopahit memenangkan
peperangan melawan tentara Tar-tar yang dikomandani Khu Bilai Khan dari Cina
dan berhasil mengusirnya dari Hujunggaluh, nama desa di muara Kalimas.
Alternatif kedua, tanggal 11 September 1294, waktu itu Raden Wijaya
menganugerahkan tanda jasa kepada Kepala Desa Kudadu dan seluruh rakyatnya
atas jasa mereka membantu tentara Raden Wijaya mengusir tentara Tar-tar.
Alternatif ketiga, tanggal 7 Juli 1358, yaitu tanggal yang terdapat pada
Prasasti Trowulan I yang menyebut untuk pertamakalinya nama Surabaya dipakai
sebagai naditira pradeca sthaning anambangi (desa di pinggir sungai tempat
penyeberangan).
Alternatif keempat adalah tanggal 3 November 1486, tanggal yang terdapat pada
Prasasti Jiu yang menjelaskan, bahwa Adipati Surabaya untuk pertamakalinya
melakukan pemerintahan di daerah ini.
Dari empat alternatif tentang hari yang bakal ditetapkan sebagai hari jadi
Surabaya, dilakukan pengkajian menyangkut data sejarah, pertimbangan yang
ideal dan nilai serta jiwa kepahlawanan sebagai ciri khas Surabaya. Walikota
Surabaya, R.Soekotjo waktu itu mengusulkan kepada DPRD (Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah) Kota Surabaya untuk menetapkan Hari Jadi Surabaya tanggal 31
Mei 1293.
Dalam rapat-rapat DPRD Kota Surabaya, setelah melakukan kaji ulang dari
berbagai aspek, DPRD Kota Surabaya dengan Surat Keputusan No.02/DPRD/Kep/75
tertanggal 6 Maret 1975, mengesahkan dan menetapkan Hari Jadi Surabaya
tanggal 31 Mei 1293. Berdasarkan itu, Walikota Surabaya R.Soekotjo
menindaklanjuti dengan mengeluarkan Surat Keputusan No.64/WK/75 tanggal 18
Maret 1975, yang menetapkan tanggal 31 Mei 1293 sebagai Hari Jadi Surabaya.
Dengan ditetapkannya tanggal 31 Mei 1293 sebagai hari jadi Surabaya, maka sejak
tahun 1975, peringan HUT Surabaya berubah dari tanggal 1 April menjadi 31
Mei, hingga sekarang ini.
Diprotes Ahli Sejarah
Saat peringatan tujuh abad atau 700 tahun Berdiri Kerajaan Majapahit,
penetapan Hari Jadi Surabaya, 31 Mei 1293, yang disebutkan sebagai hari
bersejarah, yaitu saat kemenangan tentara Raden Wijaya mengusir tentara Tar
Tar pimpinan Khu Bilai Khan, dan meninggalkan Hujunggaluh, ternyata
“diprotes” ahli sejarah.
Dalam Buku 700 Tahun Majapahit, Suatu Bunga Rampai, tentang sejarah perkembangan
Majapahit, halaman 53, oleh Dr.Riboet Darmosutopo dari Universitas Gadjah
Mada, menegaskan, bahwa tentara Khu Bilai Khan, meninggalkan Jawa, yakni
pantai Hujung-galuh adalah tanggal 19 April 1293 M. Pasukan Tar Tar itu
dihancurkan oleh pasukan Raden Wijaya, dan sebagian lagi melarikan diri dan
selamat sampai di Cina. (W.P.Groeneveldt, 1960: 20-24)
Setelah berhasil mengusir tentara Tar Tar, Raden Wiijaya melakukan persiapan
mendirikan kerajaan baru, namanya Majapahit. Berdirinya Majapahit, ditandai
dengan naik tahtanya Raden Wijaya tanggal 12 November 1293.
Nah, kalau tanggal kemenangan Raden Wijaya itu yang dijadikan patokan Hari
Lahir atau Hari Jadi Surabaya, kata beberapa ahli sejarah dalam perdebatannya
saat memperingati 700 tahun Majapahit itu, maka tanggal yang benar adalah 19
April 1293, bukan tanggal 31 Mei 1293.
Yang jelas, apapun dalilnya, sejak tahun 1975, Surabaya memperingati hari
jadi tiap tanggal 31 Mei dan sebelumnya tiap tanggal 1 April. Tetapi, apakah
mungkin diubah lagi? Ah, rasanya tidak perlu. Tua atau muda sebuah kota
seperti Surabaya ini, yang penting penataan kota itu bermanfaat bagi
warganya.
Raden Wijaya
Kelahiran Surabaya selalu dikaitkan dengan Raden Wijaya. Siapakah sebenarnya
Raden Wijaya? Warga kota Surabaya dan pemerhati Surabaya, layak mengetahui
tentang siapa sebenarnya Raden Wijaya.
Banyak sumber yang membicarakan tentang tokoh Raden Wijaya. Kitab-kitab
kidung Pararaton, Nagarakertagama dan prasasti adalah sumber pokok yang
mengungkap peranan Raden Wijaya sebagai pendiri Kerajaan Majapahit.
Raden Wijaya adalah anak Dyah Lembu Tal, cucu Mahisa Cempaka atau
Narasinghamurti, buyut Mahisa Wongateleng, piut (canggah) dari Ken Arok-Ken
Dedes.
Raden Wijaya mula-mula mengabdi kepada raja Kertanegara dan dipercaya memimpin
prajurit Singasari. Maka tidak aneh ketika Singasari diserang Jayakatwang,
Raden Wijaya diperintah untuk menghadapinya.
Ketika Singasari diduduki prajurit Kadiri, puteri-puteri Kertanegara yang
akan dikawinkan dengan Raden Wijaya ditawan mereka. Dengan usaha yang gigih
puteri yang tua berhasil direbut Raden Wijaya, meskipun Raden Wijaya beserta
teman-temannya terus dikejar tentara Kadiri.
Prasasti Kudadu menyebutkan bahwa Raden Wijaya kemudian berunding dengan
ke-12 prajuritnya yang setia. Mereka sepakat mengungsi ke Madura untuk
berlindung kepada Arya Wiraraja. Raden Wijaya keluar dari hutan menuju
Pandakan, dan karena Gajah Panggon sakit, ia ditinggal di rumah kepala desa
Pandakan. Raden Wijaya dan prajuritnya menuju ke Datar dan malam harinya
menyeberang dengan perahu ke Madura.
Setiba di Madura Raden Wijaya menghadap Arya Wiraraja. Dia dinasehati agar
menghamba kepada Jayakatwang di Kadiri. Tujuan pokoknya ialah untuk melihat
kekuatan kerajaan Kadiri. Ketika penghambaan telah diterima dan juga diberi
kepercayaan oleh oleh Jayakatwang, Raden Wijaya dianjurkan Arya Wiraraja agar
minta huta Terik untuk dijadikan kota. Arya Wiraraja membantu dengan
mengerahkan orang Madura sebagai tenaga kerja.
Setelah Terik sudah jadi kota dan Raden Wijaya tinggal di sana, ia berhasrat
menyerang Jayakatwang. Tetapi atas nasehat Arya Wiraraja, maksud Raden Wijaya
itu ditangguhkan sambil menunggu datangnya tentara Tar Tar.
Tentara Tar Tar yang dipimpin Shih-pi, Ike Mase, dan Kau Hsing datang ke Jawa
dengan maksud menghukum raja Kertanegara yang telah berani merusak muka Meng
Chi utusan Kaisar Khubhilai Khan. Mereka tidak tahu kalau Kertanegara sudah
wafat karena serangan Jayakatwang. Atas nasehat Arya Wiraraja, Raden Wijaya
bersekutu dengan tentara Tar Tar untuk menghantam tentara Jayakatwang.
(W.P.Groeneveldt, 1960: 20-30). Karena kalah Jayakatwang kemudian lari ke
Junggaluh, tetapi ia tertangkap dan ditahan di Junggaluh ini. Di tempat
tahanan, Jayakatwang menulis kidung Wukir Polaman. Disebutkan ia meninggal di
Junggaluh pula.
Tentara Tar Tar Kalah
Setelah Jayakatwang mangkat, Raden Wijaya melihat peluang untuk menghancurkan
tentara Tar Tar. Dengan kekuatan dan taktik yang jitu, Raden Wijaya dengan
pasukan setianya berhasil memporakporandakan tentara Tar Tar. Tentara Tar Tar
kalah dan diusir dari Junggaluh. Sebagian di antara mereka meninggal dunia,
sebagian lagi terpencar lari menyelamatkan diri menuju pelabuhan Tuban dan
kembali ke Cina.
Peristiwa kekalahan tentara Tar Tar oleh pasukan Raden Wijaya terjadi tanggal
19 April 1293. Jadi bukan tanggal 31 Mei 1293 yang dijadikan sebagai rujukan
untuk menetukan lahirnya Surabaya – belum disebut kota – karena pemerintahan
waktu itu masih setingkat desa. Pararaton dan Nagarakertagama memberi data
yang sama. Pararaton memberitakan bahwa Raden Wijaya naik takhta pada tahun
1216 C atau sama dengan 1294 M: …. samangka raden wijaya ajejeneng prabbu i
caka rasa rupa dwi citangcu, 1216 …. (Par). Demikian pula Nagarakertagama
memberitakan bahwa setelah Jayakatwang maninggal dunia, pada tahun 1216 C
sama dengan 1294 AD, Raden Wijaya naik takhta di Majapahit bergelar
Kertarajasa Jayawardhana. Berita tersebut dikutip sebagai berikut:
……. ri pjah nrpa jayakatwan awa tikang jagat alilan masa rupa rawi cakabda
rika nararyya sira ratu siniwin pura ri majapahit tanuraga jayaripu tinlah
nrpa krtarajasa jayawardhana nrpati (Nag..45:1)
Menurut kidung Harsawijaya, Raden Wijaya naik tahta tepat pada purneng
kartika masa panca dasi 1215 C, yaitu tanggal 15 saat rembulan purnama bulan
Kartika tahun 121 C yang bertepatan dengan 12 November 1293. Bardasarkan pada
prasasti Kudadu, pada bulan Bhadrawapada 1216 C (1294 M), Raden Wijaya telah
disebut Kartarajasa Jayawardhananamarajabhiseka. Dan di sini ditegaskan pula,
bahwa tentara Khubilai Khan meninggalkan Jawa tanggal 19 April 1293 dan Raden
Wijaya naik takhta tanggal 12 November 1293, serta Raden Wijaya yang sudah
bergelar Kertarajasa Jayawardhana memberi Anugerah
sima kepada rama di Kudadu.
Menentukan Hari Jadi
Tidak mudah menentukan dan menetapkan tanggal 31 Mei 1293 Masehi sebagai Hari
Jadi Surabaya. Sebagaimana bunyi pepatah, “tidak semudah membalik telapak
tangan”. Artinya, untuk menentukan tanggal yang dianggap paling mendekati,
melalui proses panjang dan cukup rumit.
Ceritanya, pada tahun 1970-an, peringatan Hari Jadi Kota Surabaya yang
diperingati tiap tanggal 1 April dirasakan kurang mantap. Sebab, tanggal 1
April 1906 yang dijadikan pedoman peringatan hari jadi atau hari ulang tahun,
adalah tanggal pembentukan Pemerintah Kota Surabaya yang di zaman Hindia
Belanda disebut Gemeente Surabaya. Jadi, bukan tanggal lahir atau berdirinya
Surabaya sebagai satu ranah permukiman. Secara tegas dinyatakan, bahwa 1
April 1906 adalah hari pembentukan Pemerintahan Kota Surabaya, bukan hari
jadi atau berdirinya Surabaya. Artinya, Surabaya sudah ada sebelum
Pemerintahan Kota Surabaya dibentuk.
Setelah menerima berbagai saran, usul dan bahkan kritik dari warga kota yang
disampaikan secara langsung, melalui surat dan menulis opini di mediamassa,
tentang Hari Jadi Surabaya, akhirnya Pemerintah Kota Surabaya, memutuskan
membentuk sebuah tim.
Wiwiek Hidayat, wartawan senior yang waktu itu sebagai Kepala Kantor LKBN
Antara Surabaya, mengatakan kepada penulis, saat peringatan HUT ke-67 Kota
Surabaya tanggal 1 April 1973, ia secara pribadi mendesak Walikota Surabaya,
R.Soekotjo, waktu itu untuk melakukan tinjauan ulang terhadap HUT Surabaya
berdasarkan pembentunkan Gemeente Surabaya, 1 April 1906 itu. Untuk meyakinkan
Pak Koco – panggilan akrab Walikota Surabaya R.Soekotjo – ujar ujar Wiwek
Hidayat, ia juga membawa tulisan-tulisannya yang dimuat di Bulletin Antara
dan juga dikutip di berbagai suratkabar dan majalah tentang sejarah Surabaya.
“Pak Koco benar-benar bersemangat. Beliau langsung mengajak saya bertemu di
ruang kerjanya. Bahan-bahan berupa kliping berita dan tulisan tentang Sejarah
Surabaya itu saya serahkan kepada Pak Koco. Setelah membaca sejenak, beliau
memanggil Ajudan
agar menelepon beberapa orang stafnya. Hadir empat orang menyertai Pak
Koco.Yang saya ingat waktu itu salah satu stafnya Pak Pakiding. Sebab dia
yang diserahi untuk mempersiapkan pembentukan Tim Peneliti Sejarah Surabaya,
khususnyya untuk menentukan tanggal yang pantas untuk Hari Jadi Kota
Surabaya”, kata Wiwik Hidayat dalam suatu wawancara khusus dengan penulis.
Sehari setelah peringatan Hari Jadi atau HUT (Hari Ulang Tahun) ke-67 Kota
Surabaya, yakni tanggal 2 April 1973, Walikota Kepala Daerah Kotamadya
Surabaya R.Soekotjo mengeluarkan Surat Keputusan No.99/WK/73 tentang perlunya
diadakan kaji ulang penentuan Hari Jadi Kota Surabaya.
Untuk melengkapi SK Walikota Surabaya No.99/WK/73 itu, Walikota Surabaya,
R.Soekotjo kemudian menerbitkan SK No.109/WK/73 tanggal 10 April 1973 tentang
Pembentukan Tim Penelitian Hari Jadi Kota Surabaya.
Salah satu alasan dibentuknya tim, diungkap pada dasar SK tersebut, yaitu:
bahwa hari ulang tahun Kota Surabaya pada tanggal 1 April, adalah saat
peresmiannya sebagai Gemeente Surabaya pada tanggal 1 April 1906 oleh
Pemerintah Belanda. Tanggal hari ulang tahun Kota Surabaya tersebut di atas
(1 April) selain berbau kolonial juga tidak sesuai dengan kenyataan, karena
Surabaya sudah ada jauh sebelum tanggal tersebut, yaitu sudah ada pada zaman
Pemerintah Prabu Kartanegara sekitar abad ke-13.
Begitu seriusnya Pak Koco – begitu walikota R.Soekotjo akrab disapa –
menyambut harapan warga Kota Surabaya untuk melakukan kaji ulang hari jadi
Surabaya, maka diundanglah para ahli sejarah, peneliti, pemerhati, wartawan,
penulis dan tokoh masyarakat. Dari sekian banyak yang berkumpul, akhirnya
disepakati menunjuk 13 orang yang dinilai layak dan patut, yaitu:
1. Prof.A.G.Pringgodigdo,SH – pensiunan Rektor Universitas Airlangga (Unair)
Surabaya selaku Penasihat merangkap anggota.
2. Prof.Drs.S.Wojowasito – Guru besar IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu
Pendidikan) Malang, sekarang menjadi UM (Universitas Negeri Malang) selaku
Ketua I merangkap anggota.
3. Prof.Koentjoro Poerbopranoto,SH – Guru besar Fakultas Hukum Unair Surabaya
selaku Ketua II merangkap anggota.
4. Drs.Prayoga – Kepala Pembinaan Museum Jawa Timur selaku Ketua III
merangkap anggota.
5. Kolonel Laut Dr.Sugiyarto – Kepala Staf Kekaryaan Daerah Angkatan Laut 4
Surabaya sebagai anggota.
6. Drs.M.D.Pakiding – Staf Pemerintah Kotamadya Surabaya selaku Sekretaris
merangkap anggota.
7. Drs.Issatrijadi – Dosen Fakultas Sosial IKIP Surabaya (sekarang bernama
Universitas Negeri Surabaya disingkat Unesa) selaku anggota.
8. Drs.Heru Soekadri K – Dosen Fakultas Sosial IKIP Surabaya. Selaku anggota.
9. Banoe Iskandar – Pensiunan Kepala Inspeksi Kebudayaan Jawa Timur selaku
anggota.
10. Wiwiek Hidayat – Pimpinan LKBN Antara Cabang Surabaya dan Anggota Dewan
Kesenian Surabaya (DKS) selaku anggota.
11. Tajib Ermadi – Redaksi Majalah Jayabaya selaku anggota.
12. Soenarto Timoer – selaku anggota.
13. Soeroso – Pensiunan Komisaris Polisi selaku anggota.
Setelah tim terbentuk, maka diselenggarakan rapat-rapat untuk menentukan
pembagian tugas dan kegiatan masing-masing anggota tim. Untuk menghimpun data
faktual, relevan dan valid, maka tim membentuk tiga Panitia Ad-Hoc.
Proses dan Historis Surabaya, penelitiannya diketuai oleh Prof.Drs.Suwoyo
Woyowasito. Hal yang berhubungan dengan Mitos Surabaya, diketuai oleh
Drs.Heru Soekadri K. Untuk menghimpun data tentang lokasi Surabaya, diketuai
oleh Wiwiek Hidayat.
Ketiga panitia Ad-Hok melakukan penelitian yang mendalam, Metoda penelitian
sebagaimana lazimnya, dilakukan secara ilmiah, yaitu library research (riset
perpustakaan), field research (riset lapangan) dan intervieuw (wawancara).
Tim peneliti bertugas merumuskan tanggal yang tepat berdasarkan sejarah
tentang hari jadi Surabaya. Jadwal yang ditetapkan untuk anggota tim adalah
tanggal 16 April 1973 hingga 16 September 1973.
Tiga Alternatif
Dari berbagai sumber penelitian yang dilakukan secara cermat selama lima
bulan itu, tim sampai pada suatu kesimpulan. Ada tiga tanggal yang ditetapkan
sebagai alternatif. Ke tiga tanggal itu diajukan kepada Walikota Surabaya
untuk ditetapkan sebagai Hari Jadi Surabaya. Ke tiga tanggal tersebut
mempunyai peristiwa dan riwayat sendiri-sendiri, tetapi satu sama lain ada
pertautan dan kaitannya. Selain itu diajukan pula satu “minderheids nota”
yang berisi pendapatdari Soeroso.
Tanggal-tanggal yang diajukan itu adalah:
1. Tanggal 31 Mei 1293 Masehi, Yaitu: saat kemenangan tentara Raden Wijaya
atas tentara Tartar. (berdasarkan laporan penelitian ilmiah Drs.Heru
Soekadri, Kol.Laut.Dr.Sugiyarto dan Wiwiek Hidayat).
2. Tanggal 11 September 1294 Masehi, Yaitu saat penganugerahan tanda jasa
kepada kepala desa dan rakyat desa Kudadu atas jasanya menyelamatkan Raden
Wijaya.
3. Tanggal 7 Juli 1358 Masehi, Yaitu suatu tanggal pada Prasasti Trowulan, di
mana disebutkan untuk pertamakalinya nama Surabaya dengan tulisan SURABAYA
(menurut transkripsi dari huruf Jawa kuno ke huruf Latin). Surabaya
dinyatakan selaku naditira pradeca sebagai salah satu tempat penambangan ke
pulau-pulau Nusantara atau pelabuhan intersuler. (laporan ilmiah itu
disampikan oleh Issatrijadi dan Soenarto Timoer).
4. Tanggal 3 November 1486 Masehi, Yaitu tanggal pada Prasasti Jiu di mana
Adipati Surabaya menuirut pakem melakukan pemerintahan (Laporan dari
Soeroso).
Laporan Soeroso ini diajukan oleh tim sebagai “minderheids nota”, karena
dianggap muda. Tim Peneliti Hari Jadi Kota Surabaya dengan seberkas data
menyampaikan laporan hasil kerja mereka kepada Walikota Surabaya. Dengan
surat resmi No.36/II/73/TP.HJKS tanggal 27 September 1973 tim mengharapkan
Pemerintah Kota Surabaya menetapkan satu di antara tiga alternatif tanggal di
atas, karena yang satu sudah dinyatakan “minderheids nota”.
Tim melampirkan tujuh makalah (kertas kerja) anggota tim dengan judul
masing-masing, yaitu:
1. “Sekitar Legende Mythos Surabaya” disusun oleh Drs.M.D.Pakiding.
2. “Tentang hal Hari Jadi Kota Surabaya” disusun oleh Prof.Drs.S.Wojowasito.
3. “Usia Surabaya” disusun oleh Prof.Koentjoro Poerbopranoto,SH.
4. “Lokasi Surabaya di Waktu Kapan” disususn oleh Wiwiek Hidayat.
5. “Surabaya, suatu pendekatan dalam meneliti Hari Jadi Surabaya” disusun
oleh Drs.Issatrijadi.
6. “Dari Hujung Galuh ke Surabaya” disusun oleh Heru Soekadri.
7. “Surabaya, manifestasi ehidupan rakyat Kahuripan, Jawa Timur” disusun oleh
Kolonel Laut.Dr.Sugiyarto.
Setelah menerima laporan dari panitia bersama lampiran penelitiannya, maka
Walikota Surabaya, R.Soekotjo dengan suratnya No.0.104/20 tanggal 27 Desember
1973, mengusulkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat daerah (DPRD) Kota Surabaya,
dengan tidak mengurangi kebebasan mengeluarkan pendapat dari pihak
legislatif, agar dapatnya dipilih tanggal 31 Mei 1293 Masehi sebagai Hari
Jadi Kota Surabaya, sebagai pengganti 1 April 1906, dengan alasan: Kemenangan
Raden Wijaya atas tentara Tartar (tentara kolonial Khu Bi Lai Khan) merupakan
suatu kebanggaan (pride) rakyat Surabaya khusunya dan bangsa Indonesia pada
umumnya. Karena apabila dihubungkan dengan peristiwa 10 November 1945,
membuktikan kepada kita bahwa sejak dari dahulu bangsa Indonesia bertekad untuk
tidak mau dijajah.
Sulit Ditentukan DPRD Kota Surabaya yang menerima usulan perubahan peringatan
Hari Jadi Surabaya dari tanggal 1 April 1906 menjadi tanggal 31 Mei 1293,
tidak sertamerta menyetujui. Pimpinan DPRD menugaskan Komisi A untuk
melakukan kajian dan pembahasan. Beberapa kali diselenggarakan rapat khusus
untuk menentukan tanggal yang dapat ditetapkan atau dipilih.
Pada rapat tanggal 17 Februari 1974, Komisi A membuat kesimpulan yang isinya:
“Sulit ditentukan tangal mana dari tiga alternatif tanggal yang diajukan oleh
tim untuk ditetapkan sebagai tanggal Hari Jadi Kota Surabaya. Sebab ke tiga
tanggal tersebut sama-sama merupakan hasil penemuan ilmiah”. Masalah tersebut
dikembalikan kepada Pimpinan DPRD Surabaya, dengan permintaan agar diadakan suatu
pertemuan kembali dengan eks tim Peneliti Hari Jadi Kota Surabaya. Di mana
unsur Pimpinan Komisi yang lain diikutsertakan. Di bawah pimpinan Ketua DPRD
Kotamadya Surabaya, Komisi A dan unsur pimpinan lainnya, pada tanggal 28
Maret 1974, diadakan pertemuan dengan eks Tim Peneliti Hari jadi Kota
Surabaya. Pertemuan itu tidak banyak menghasilkan kemajuan. Komisi A tetap
pada pendirian semula dan menyerahkan kembali masalahnya kepada Pimpinan DPRD
Surabaya. Ada yang menarik di tahun 1974 ini, peringatan HUT ke-67 Kota
Surabaya tanggal 1 April 1974 tidak semeriah tahun-tahun sebelumnya.
Rencana perubahan Hari Jadi Surabaya sudah mempengaruhi opini masyarakat
warga kota. Apalagi waktu itu, tulisan tentang sejarah dan hari jadi Surabaya
banyak muncul di media massa. Secara kebetulan walikota Surabaya juga baru
diganti. Masa jabatan R.Soekotjo sudah berakhir. Sejak tanggal 23 Januari
1974, tampuk pimpinan kota Surabaya sebagai Walikotamadya Surabaya beralih
kepada Kolonel R.Soeparno. Kendati demikian, DPRD Surabaya tidak berhenti
membahas masalah kaji ulang penetuan hari Jadi Kota Surabaya. Sesuai dengan
jenjang pembahasan berikutnya, permasalahan itu diajukan oleh Pimpinan dalam
forum Panmus (Panitia Musyawarah) yang diadakan tanggal 29 Mei 1974.
Kesimpulan rapat Panmus disampaikan dengan surat Pimpinan DPRD Surabaya
No.84/DPRD/SK tanggal 26 Juni 1974 yang ditujukan kepada Walikota Surabaya.
Walikotamadya Surabaya R.Soeparno (walikota Surabaya R.Soeparno menggantikan
jabatan R.Soekotjo, terhitung sejak 23 Januari 1974) tidak langsung membalas
surat dari DPRD Surabaya itu. Baru tiga bulan kemudian dengan surat
No.01000/23 tanggal 25 September 1974, Walikotamadya Surabaya, R.Soeparno,
memberikan penegasan bahwa, kembali mengusulkan dapat kiranya tangal 31 Mei
1293 untuk ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Surabaya. Alasannya sama dengan
surat yang dikirim ke DPRD tanggal 27 Desember 1973. Tidak cukup dengan
surat, Walikotamadya Surabaya Drs.R. Soeparno kemudian menyampaikan
penjelasan lisan dalam forum Rapat Peleno Terbuka DPRD Surabaya tanggal 7
November 1974.
Dari Rapat Pleno DPRD Surabaya itu, kemudian dibentuk Pansus (Panitia Khusus)
untuk mengadakan penilaian terhadap usul yang disampaikan oleh Walikota
Surabayas tersebut. Anggota Pansus DPRD Kotamadya Surabaya yang membahas
usulan tentang penetapan Hari jadi Kota Surabaya itu sebanyak 15 orang dengan
ketua Eddy Sutrisno dan wakil ketua H.A.Zakky Ghoefron. Anggotanya adalah:
Sutrisno BA, Hasan Ibrahim SH, Muchsin SH, Munahir, Bambang
Rudjito, J.Sugiyanto, Anas Thohir Syamsudin, R.Sumono Hs, Drs.J.Karmeni,
Ahadin Mintarum, Umar Buang, Kaptiyono, Drs.Nana Sumantri.
Delapan kali dilakukan rapat untuk membahas secara khusus untuk menetapkan
Hari Jadi Surabaya itu. Secara berturut-turut tanggal 8, 9, 13, 16, 18 dan 30
Januari 1975, serta dilanjutkan tanggal 3 dan 10 Februari 1975. Rapat-rapat
yang dipimpin langsung oleh Ketua DPRD DPRD Surabaya itu selalu mencapai
quorum, sesuai tatatertib, sehingga dinyatakan sah. Tidak begitu mudah DPRD
Surabaya menyetujui usul Walikotamadya Surabaya agar menetapkan tanggal 31
Mei 1293 sebagai hari jadi Surabaya. Pansus DPRD Surabaya itu lebih dahulu
menetapkan pedoman yang dipakai.
Diawali dengan kalimat: “Mencari Hari Jadi Kota Surabaya dengan jiwa
kepahlawanan yang diridloi Tuhan Yang Maha Esa menuju kerukunan dan
pembangunan nasional”, bahwasanya yang hendak dicapai adalah: Hari Jadi
sebuah kota yang idiil merupakan Kota Pahlawan. Hari jadi sebuah kota yang
cukup memenuhi ketentuan ketatanegaraan sesuai dengan kondisi pada saat
ini.\. Terhadap masalah ini Panitia telah menetapkan bahwa materi yang
menjadi pokok pembahasan adalah “Penjelasan Walikotamadya Kepala daerah
Tingkat II Surabaya pada Sidang Pleno DPRD Surabaya tanggal 7 November 1974.
Pembahasan masih terus berlanjut. Bahan-bahan kajian dan penelitian yang
dilakukan oleh Tim Penelitian Hari Jadi Kota Surabaya diplototi.
“Bagaimanapun juga, hasil yang diperoleh dari tim ini merupakan bahan-bahan
komplementer yang berfungsi sebagai barometer. Penjabaran dari tema itu
menghasilkan landasan berpijak yang kokoh sebagai fondasi yang sangat prinsip
dalam menentukan Hari Jadi Surabaya”, ujar Ahadin Mintarum salah seorang
anggota Pansus DPRD Surabaya yang sangat berhati-hati untuk menyetujui
tanggal 31 Mei 1293 sebagai hari jadi yang diusulkan tim dan walikota
Surabaya.
Berubah menjadi 31 Mei
Anggota DPRD Surabaya dengan seksama menyimak peristiwa abad XIII sesudah
pemerintahan Prabu Kartanegara. Saat itu terjadi suatu peristiwa sejarah yang
membanggakan. Peristiwa itu adalah kemenangan pasukan Raden Wijaya yang
dibantu rakyatnya mengusir tentara Tartar. Dipandang dari segi tinjauan
nasional, peristiwa pengusiran tentara Tartar itu merupakan peristiwa
terbebasnya kepulauan Indonesia dari penjajahan atau intervensi tentara
asing.
Pelaku peristiwa itu adalah Raden Wijaya, yang menurut bukti sejarah, diakui
sebagai pahlawan besar. Sebagai ilustrasi, kita perlihatkan di sini faktanya
sebagai berikut:
a. Dalam Prasasti Gunung Butak tahun 1216 Caka atau 1294 AD, Raden Wijaya
disebut sebagai “Raja yang dipujikan sebagai pahlawan besar yang utama”.
b. Dalam Prasasti Gunung Pananggungan oleh Kertarajasa tahun 1218 Caka atau
1296 AD, Raden Wijaya disebut sebagai “Pahlawan di antara Pahlawan”.
Dari uraian singkat di atas sudah dapat disimpulkan bahwa apa yang disebut
nilai idiil yang mengandung sifat kepahlawanan dapat terpenuhi.
Pembahasan mengenai lokasi terjadinya peristiwa kepahlawanan, diperoleh
kesimpulan sebagai berikut:
a. Pendapat Prof.Dr.N.J.Krom dan lebih diperkuat lagi dengan pendapat Drs.Oei
Soen Nio, dosen sejarah Tiongkok dari Seksi Sinologi Jurusan Asia Timur,
Fakultas Sastra Universitas Indonesia yang menerangkan bahwa menurut
pembacaan tulisan Cina, kata Sugalu, harus dibaca Jung Ya Lu. Dengan
demikian, maka ucapannya lebih mendekati Junggaluh daripada Sedayu.
b. Prof Dr. Suwoyo Woyowasito dengan dasar perkembangan bunyi, dapat
membuktikan bahwa Suyalu adalah perubahan bunyi lafal Tionghoa dari kata
Hujungaluh.
c. Suatu data lagi, bahwa Shihpi, salah seorang panglima tentara Tartar yang
semula men-darat di Tuban, setelah tiba di Su-ya-lu memerintahkan tiga
pejabat tinggi dengan naik perahu cepat ke jembatan terapung Majapahit (The
Floating Bridge of Majapahit). Ketiga pejabat tinggi yang Berangkat
dari Su-ya-lu tersebut tentunya melalui sungai menuju ke pusat kerajaan
Majapahit di Trowulan, Mojokerto. Dengan demikian dapat dibuktikan sungai
yang dilalui adalah Kali Brantas, bukan Bengawan Solo. Bahkan dapat dikatakan
bahwa Su-ya-lu terdapat di pantai dan muara Kali Brantas. Kenyataan ini
sesuai dengan faktor dari sumber Prasasti Kelagen (1037 AD) yang dilengkapi
dengan faktor dari buku Chu-fan-Chi-kua (1220 AD), yang menyatakan bahwa
Hujunggaluh terletak di pantai dan muara Kali Surabaya. Maka dengan demikian,
kuatlah suara pendapat bahwa:
Su-ya-lu sama dengan Hujunggaluh yang terletak di pantai, di muara Kali
Surabaya dan tidak sama dengan Sedayu yang sekarang terletak di tepi Bengawan
Solo, dengan muaranya yang baru di Ujung Pangkah.
d. Fakta itu diperkuat lagi behubungan dengan Kidung Harsa Wijaya yang
selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
“Mangke wus wonten Jung Galuh sampun akukuto lor ikang Tegal Bobot Sekar
sampun cirno linurah punang deca tepi siring ing Canggu”
Artinya:
“Sekarang (tentara Tartar) sudah ada di Jung Galuh dan sudah membuat Benteng sebelah
utara Tegal Bobot Sekar (sari) para lurah desa di wilayah Canggu sudah
musnah.”
Dengan demikian Panitia Khusus (Pansus) DPRD dapat menerima, bahwa lokasi
Hujunggaluh ada di wilayah Surabaya.
Menganai persyaratan hukum ketatanegaraan sebagai kota, diperoleh kesimpulan
sebagai berikut:
Berdasarkan tinjauan sosial ekonomis, Drs.JBA Mayor Polak menentukan dua
ukuran yang dipakai sebagai penentu ciri kota, yaitu:
a. Ukuran pertama berhubngan dengan sifat ekonomis kota, yaitu tidak agraris.
Penduduk kota mendatangkan makanannya dari tempat lain. Orang kota bukan
orang tani. Berhubungan dengan lapangan pekerjaan, ini menimbulkan adanya
sebutan-sebutan seperti kota dagang, kota industri, kota pegawai dan
lain-lain.
b. Ukuran yang kedua, berdasarkan tinjauan sosiologis yang menitikberatkan
pada sifat hubungan antara anggota masyarakat. Penduduk kota kurang
menitikberatkan pada antar hubungan primer, tetapi lebih mengutamakan antar
hubungan kepentingan sehingga mempunyai ikatan yang agak longgar. Hal ini
menurut Dr.Bouman, disebabkan karena penduduknya yang heterogen.
Berdasarkan dua kriteria kota tersebut, Drs.JBA Mayor Polak, lalu membedakan
adanya dua macam kota asli di Indonesia.
Pertama: kota yang punya corak sebagai kota keraton di pedalaman.
Kedua, sebagai kota dagang di pantai. Kota keraton timbul karena adanya pusat
pemerintahan di suatu tempat. Sedangkan kota dagang, biasanya timbul di
tempat-tempat yang cocok bagi perdagangan, misalnya muara sungai besar atau
di mana ada pertemuan jalan lalulintas yang amat penting.
Berpijak kepada pendapat Drs.JBA Mayor Polak itu, maka dapatlah dibuktikan
bahwa Hujunggaluh dalam abad XIII sudah merupakan kota pelabuhan dagang.
Dari Prasasti Kalagen (1037 AD) dapatlah diketahui bahwa Hujunggaluh adalah
pelabuhan dagang dwipantara atau interinsuler. Pada zaman sekarang, istilah
yang digunakan Departemen Perhubungan (Dephub) adalah pelabuhan nusantara
(antarpulau) dan pelabuhan samudera untuk pelayaran antar benua.
Karena pengertian ketatanegaraan itu sangat luas, maka disini dikaitkan
dengan negara kerajaan yang membawahi Hujunggaluh yang kemudian menjadi Kota
Surabaya. Fakta sejarah menunjukkan, bahwa kota pelabuhan Hujunggaluh pada
abad XIII merupakan wilayah kerajaan Singasari (sampai Juni 1292) dan
kemudian menjadi daerah dari kerajaan Kediri (sampai April 1293). Setelah
itu, menjadi kota pelabuhan Surabaya yang berada di bawah kerajaan Majapahit.
Berdasarkan sumber data dari prasasti, kitab Pararaton dan kitab
Negarakertagama, dapat dpastikan bahwa Singasari, Kediri dan Majapahit
berbentuk negara kerajaan (monarkhi). Pemegang kekuasaan dan penjunjung
tinggi kedaulatan adalah raja.
Dengan demikian, dapat dibuktikan secara ilmiah berdasarkan fakta-fakta
sejarah, metoda riset “logical acontrario” atau pembuktian “crossing system”,
serta pertimbangan akal yang sehat, bahwa Hujunggaluh sebagai suatu “kota
pelabuhan dan kota dagang”. Unsur-unsur yang dimliki dan persyaratan
ketatanegaraan sudah terpenuhi, walaupun dalam bentuk dan kadar yang paling
sederhana.
Dapat berubah lagi
Memang, jika dibaca pendapat dan tanggapan, serta kesimpulan tentang
penetapan tanggal Hari Jadi Kota Surabaya, masih lemah. Diakui secara faktual
bahwa tanggal yang pasti dengan pembuktian data sejarah belum ditemukan. Oleh
karena itu, faktor idiil dalam penetapan tanggal Hari Jadi Kota Surabaya
menjadi dominan.
Dengan pertimbangan itulah, maka tanggal Hari Jadi Kota Surabaya, diambil
dari tanggal terjadinya peristiwa sejarah kepahlawanan sebagai pembahasan di
atas. Sesuai pembahasan dan menurut penelitian tersebut, jatuhnya pada
tanggal 31 Mei 1293 Masehi.
Setelah melalui tahap pembahasan, maka landasan tema yang telah ditentukan,
Pansus (Panitia Khusus) DPRD Kotamadya Surabaya dapat menerima dan menyetujui
usul Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surabaya, untuk menetapkan Hari
Jadi Kota Surabaya tanggal 31 Mei 1293 M. Dengan catatan, bahwa penetapan
Hari Jadi Kota Surabaya masih memungkinkan untuk dapat ditinjau kembali,
bilamana di kemudian hari berdasarkan fakta sejarah yang lebih kuat ditemukan
tanggal yang pasti.
Setelah melalui pembahasan yang rumit dalam waktu yang cukup panjang, pada
sidang paripurna DPRD Surabaya, 6 Maret 1975, dilaksanakan sidang khusus
untuk menetapkan tanggal Hari Jadi Kota Surabaya.
Pada sidang pleno itu DPRD Kotamadya Surabaya secara resmi setelah seluruh
fraksi menyampaikan stemotivoring (pendapat akhir), maka menyetujui usul
Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surabaya untuk menetapkan Hari Jadi
Kota Surabaya: tanggal 31 Mei 1293. Persetujuan resmi DPRD Kotamadya Surabaya
itu dituangkan dengan dikeluarkannya Surat Keputusan DPRD Kotamadya Surabaya
Nomor 02/DPRD/Kep/75 tanggal 6 Maret 1975. Keputusan DPRD itu ditindaklanjuti
dengan Surat Keputusan Walikota Surabaya No.64/WK/75 tanggal 18 Maret 1975.
Pada pertimbangan SK Walikota Surabaya tersebut, dinyatakan Hari Jadi Kota Surabaya
yang diperingati setiap tanggal 1 April, saat diresmikannya Gemeente Surabaya
tahun 1906 oleh Pemerintah Belanda pada saat itu, adalah tidak sesuai dengan
kenyataan. Sebab, selain penetapan tanggal tersebut berbau kolonial, Surabaya
sebenarnya sudah ada jauh sebelum tanggal tersebut, yaitu sekitar abad XIII.
Berdasarkan pertimbangan itu, dirasa perlu untuk menetapkan tanggal Hari Jadi
Kota Surabaya yang sesuai dengan data faktual yang diperoleh dari hasil
penelitian, sejarah dan ciri khas Kota Surabaya sebagai Kota Pahlawan. Dari
hasil penelitian tim dan pertimbangan DPRD Kotamadya Surabaya, diperoleh
kesimpulan bahwa tanggal yang sesuai dengan keinginan, adalah tanggal 31 Mei
1293.
Maka pada bagian akhir SK Walikota Surabaya yang ditandatangani oleh
Walikotamadya Kepala daerah Tingkat II Surabaya, H.Soeparno, tertanggal 18
Maret 1975 itu, diputuskan bahwa tanggal 31 Mei 1293 sebagai Hari Jadi Kota
Surabaya.
Hingga sekarang, peringatan Hari Jadi Kota Surabaya tetap dilaksanakan setiap
tanggal 31 Mei. Belum ada pihak yang secara tegas untuk mengubahnya. Kendati
ada protes-protes “ringan” dari ahli sajarah dalam beberapa kali seminar.
Dalam persetujuan Pansus DPRD Kota Surabaya tanggal 6 Maret 1975 ada klausal
yang berbunyi “bahwa penetapan Hari Jadi Kota Surabaya tanggal 31 Mei 1293
ini masih dimungkinkan untuk ditinjau kembali, bilamana di kemudian hari
berdasarkan fakta-fakta sejarah yang lebih kuat ditemukan tanggal yang
pasti”. Begitulah catatan yang berhasil penulis temukan dari dokumen sidang DPRD
Kota Surabaya. Dirgahayu Surabaya. ***
MERDEKAAA!!!! |